HUKUMAN YANG DILUAR BATAS TERHADAP ANAK
DALAM KELUARGA
W. Edith Humris
I. Pendahuluan
Pada beberapa kesempatan setelah saya memberi ceramah mengenai perkembangan anak maka diantara hadirin ada yang bertanya apakah dibenarkan untuk memukul anak kalau ia nakal.
Pertanyaannya sederhana tetapi jawabannya tidak mudah. Untuk melarang orang tua menghukum anaknya tidaklah mungkin karena setiap orang tua tentulah pernah menghukum anak dan masih akan menghukumnya dikemudian hari. Yang menjadi masalah adalah sampai berapa jauh orang tua dapat menghukum anaknya. Hal ini pun bukan hal yang mudah untuk ditentukan karena ada orang tua yang menganggap untuk mendidik anak sebagai hak mutlak yang tak dapat dicampuri oleh orang lain.
Orang tua menganggap bahwa hukuman yang diberikan pada anaknya akan mempunyai akibat yang baik. Tidak disadari bahwa hukuman yang diberikan pada anak dapat mempunyai akibat yang kurang baik terhadap anak baik secara fisik maupun psikologis. Secara fisik pada anak dapat timbul luka ringan, luka-luka yang lebih berat bahkan dapat mengakibatkan kematian. Secara psikologis maka hukuman fisik itu juga tidak selalu mempunyai akibat baik. Anak yang dihukum itu mungkin merasa diri takut, sedih serta marah dan tingkah lakunya menjadi semakin kacau.
Konflik dasar dari anak tersebut tidak memperoleh penyelesaian yang wajar.
II. Apakah anak perlu dihukum ?
Mengenai hal ini masih banyak pertentangan pendapat. Tingkah laku seorang anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Orang dewasa dianggap telah menyelesaikan perkembangan kepribadiannya dan dapat bertanggung jawab sepenuhnya atas tingkah lakunya. Bagi seorang anak norma hukum dan social dari pada masyarakat masih sangat kabur. Bila seorang anak mencuri maka ia tidak dapat diperlakukan dengan cara yang sama dengan orang dewasa yang mencuri. Di pihak lain maka perbuatan mencuri dari seorang anak juga tidak dapat dibiarkan lewat begitu saja.
Anak dilahirkan dalam keluarga, orang tua dianggap bertanggung jawab untuk mengasuh, membimbing dan mendidik anak sehingga akhinrya menjadi anggota masyarakat. Yang berguna untuk nusa dan bangsa. Tugas orang tua untuk membesarkan anak tidaklah ringan, baik secara materiil maupun emosionil.
Ayah ibu merupakan orang pertama yang berkewajiban untuk mengajarkan pada anak apa yang baik dan tidak serta apa yang berbahaya bagi keselamatan anak. Hal ini disampaikan pada anak dengan pelbagai cara yang harus sesuai dengan usia dan perkembangan anak. Disamping itu setiap orang tua mempunyai konsep sendiri mengenai apa yang disebut sebagai anak baik.
Orang mengharapkan bahkan menuntut supaya anak bertingkah laku sebagai “anak baik”
Anak tidak selalu dapat menangkap apa yang dimaksud orang tuanya. Hal ini tergantung dari pada taraf perkembangan anak, kemampuan yang sudah dimiliki, kebutuhan serta keinginan-keinginannya. Sebaliknya tingkah laku orang tua juga dipengaruhi oleh banyak factor, antara lain factor biologis, psikologis, sosio-ekonomis serta latar belakang kebudayaan.
Dengan demikian “bentrokan” antara orang tua dan anak adakalanya sukar untuk dihindari, adakalanya oleh orang tua anak dianggap bukan anak yang baik lagi, ia dianggap nakal dan perlu dihukum.
Pada umumnya orang tua mengharapkan supaya tingkah laku anaknya menyenangkan hati ayah-ibunya. Dorongan ini dianggap normal dan dalam diri setiap orang tua bahkan pada fase symbiose dari perkembangan anak (yang berlangsung antara usia tiga bulan sampai satu setengah tahun) kebutuhan anak dan ibu saling melengkapi.
Pada orang tua yang memberi hukuman di luar batas, tuntutannya terhadap anak melebihi kemampuan anak, jadi terjadi diskrepansi antara tuntutan orang tua dan kemampuan anak untuk memenuhi tuntutan itu. Oleh beberapa ahli tuntutan orang tua yang melampaui kemampuan anak serta perasaan bahwa kebutuhan orang tua tidak dipenuhi menjadi sumber pemberian hukuman yang di luar batas atau penganiayaan anak.
Bila seorang anak dilahirkan dengan sehat serta mempunyai orang tua yang baik pula, baik jasmani maupun rohani maka sebenarnya tidak terlalu sukar untuk membesarkannya. Hukuman yang dibutuhkan untuk mengatasi tingkah lakunya yang keliru hanya terbatas saja. Hanya pengarahan saja dibutuhkan supaya anak tetap berkembang dengan baik.
Hukuman merupakan tanda bagi anak bahwa tingkah lakunya tidak dapat diterima oleh lingkungan. Hukuman merupakan suatu negative reinforcement sebaliknya pujian atau hadian merupakan tanda bahwa tingkah lakunya disambut baik.
Pujian/hadiah dianggap suatu positive reinforcement.
Berdasarkan teori belajar maka seorang senantiasa akan berusaha untuk mendapat yang menyenangkan baginya serta menghindari yang menyakitkan. Dengan demikian maka hukuman dapat dipakai untuk mengubah tingkah laku seorang anak.
III. Hukuman yang bagaimana dapat dianggap di luar batas ?
Dari kepustakaan keterangan mengenai hal ini tidak diperoleh. Biasanya para sarjana secara langsung menyebut hukuman yang di luar batas sebagai penganiayaan anak (child abuse).
Menurut pendapat saya yang dapat dianggap sebagai hukuman yang di luar batas ialah bila menimbulkan cidera pada anak, baik ringan maupun berat, berlawanan dengan perikemanusiaan serta menghambat perkembangan anak. Hukuman dapat bersifat fisik (memukul, mencubit, menyundut dengan api rokok, dan sebagainya) atau tidak fisik.
Hukuman yang tidak fisik itu merupakan larangan bagi anak (tidak boleh naik sepeda, tidak boleh nonton televisi atau video, tidak boleh makan) atau kurungan (tidak boleh keluar rumah, tidak boleh keluar kamar, dikurung di kamar mandi). Hukuman yang tidak fisik itu juga mempunyai akibat yang negative terhadap anak. Contohnya ialah sebuah kasus dimana anak karena nakal dikurung digudang yang gelap. Anaknya memang sudah mempunyai sifat penakut sehingga waktu akan dikurungpun sudah menolak. Digudang itu ia menangis dan menjerit-jerit karena panic, memukul-mukul tembok dan pintu sebagai usaha untuk keluar. Waktu dikeluarkan lagi maka anaknya basah kuyup, karena keringat, serta tangan-tangannya luka karena memukul tembok. Peristiwa dikurung itu bagi anak merupakan pengalaman yang cukup traumatik.
Untuk Indonesia apa yang dianggap sebagai hukuman yang di luar batas juga belum ditetapkan
Mungkin ada baiknya kalauhalini dipikirkan pada seminar ini. Di kemudian hari hal tersebut dapat ditetapkan dengan undang-undang supaya ada sangsinya bila orang tua memberikan hukuman yang di luar batas.
IV. Keadaan orang tua yang memberi hukuman di luar batas
Penelitian mengenai pemberian hukuman di luar batas atau penganiayaan tidak merupakan hal yang mudah baik di Indonesia maupun Negara lain. Banyak kasus tidak dilaporkan dan tidak diketahui sama sekali. Para orang tua biasanya tidak menganggap hukuman di luar batas sebagai penganiayaan karena mereka merasa mempunyai itikad baik dan semata-mata bertujuan demi kebaikan anak. Di Amerika Serikat statistic yang seksama mengenai penganiayaan anak juga sukar untuk diperoleh. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gil dalam tahun 1968 maka sepertiga dari pada kasus yang dilaporkan merupakan anak yang berumur dibawah 3 tahun. Hasil yang serupa juga ditemukan di Swiss dan Selandia Baru. Dari 151 kasus yang dilaporkan di Basle 99 anak (65,6%) berumur di bawah tiga tahun.
Menurut penelitian itu juga maka 80% dari aak-anak itu dianiaya oleh ibunya sedangkan 20% oleh ayahnya. Validitas daripada penelitian ini masih diragukan tetapi memberikan keterangan tambahan kepada kita mengenai masalah penganiayaan anak.
Dengan sendirinya dalam diri kita timbul pertanyaan mengapa penganiayaan anak lebih sering dilakukan terhadap bayi dan anak kecil. Menurut Grager ada tiga faktor yang memainkan peranan penting yaitu :
1. kepribadian ibu
2. depresi postpartum (masa setelah melahirkan anak)
3. “kepribadian” anak
ad.1. Supaya dapat menjalankan tugasnya dengan baik maka seorang ibu harus merasa dirinya cukup disayangi dan dihormati. Bila tidak demikian keadaannya maka ia akan terhambat dalam menjalankan tugasnya. Para ibu dalam penelitian yang diakukan Cramer tidak menderita depresi yang nyata tetapi bila diperhatikan dengan lebih teliti maka mereka merasa sedih, sepi dan sendirian. Mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan bayi yang dianggap sebagai “tyrant”. Dalam diri anaknya mereka mencari kasih sayang dan dukungan tetapi tidak menemukannya. Sebagai akibatnya mereka mencela anaknya dan menganggapnya lemah, terlampau banyak tergantung padanya, terlalu banyak menuntut dan kebutuhan-kebutuhannya terlalu banyak sehingga sukar untuk dipenuhi.
ad.2. setelah melahirkan pada ibu biasanya terjadi depresi. Para wanita dalam penelitian ini sulit untuk mengataisnya. Tangisan bayi menjadi tak tertahankan bagi para wanita ini dan menimbulkan rasa marah dan tindakan penganiayaan.
ad.3. Bila anak yang dilahirkan tidak memenuhi harapan orang tuanya misalnya saja: lahir premature (lahir sebelum cukup bulan), lahir dengan kelainan bawaan atau lemah dan mudah sakit, maka “tingkah laku” anak dengan mudah menimbulkan amarah orang tua dan pemberian hukuman di luar batas.
Ciri-ciri lainnya daripadanya orang tua yang memberi hukuman di luar batas ialah:
1. biasanya mereka berumur muda yaitu antara 17-35 tahun
2. kepribadiannya biasanya immature (tidak dewasa) dan dependent
3. biasanya mereka merupakan orang yang kesepian, ingin dicintai dan mendapat pengertian tetapi terdapat pula perasaan inferior dan kurang percaya diri sehingga merasa diri tak layak untuk dicintai, dimengerti serta ditolong.
4. orang tua dibesarkan dengan cara yang sama seperti mereka dulu dibesarkan oleh orang tua mereka yaitu dengan hukuman fisik. Hukuman di luar batas atau penganiayaan oleh ibu dirasakan “lebih menyakitkan” daripada oleh ayah. Kalau hukuman yang berlebihan diberikan oleh ayah maka anak merasa lebih sakit hati karena tidak dibela oleh ibutnya daripada sakit hati karena perbuatan ayahnya.
Suatu gejala yang cukup menyolok pada para ibu yang memberi hukuman di luar batas ialah tiadanya perasaan keibuan (lack of motherliness). Ketrampilan untuk merawat bayi/anak (seperti misalnya :memberikan makan, memandikan, menggantikan baju) mungkin cukup memadai tetapi perasaan kehangatan untuk mengerti kebutuhan bayi tidak ada.
Interaksi dengan bayi/anak sangat kaku. Perasaan keibuan ini tidak merupakan monopoli daripada wanita yang secara biologis sudah melahirkan anak tetapi juga terdapat pada wanita lain yang sayang anak bahkan juga pada laki-laki.
Keadaan yang dapat mencetuskan penganiayaan anak dalam keluarga ialah :
1. krisis keuangan
2. pengangguran
3. keadaan perumahan yang buruk
4. “broken families”
5. krisis sosial
6. alkoholisme
7. anak yang tak diinginkan, misalnya karena :
a. hamil diluar nikah
b. terlalu cepat hamil setelah anak sebelumnya
c. jenis kelamin anak tidak sesuai dengan yang diharapkan
7. Beberapa faktor kebudayaan di Indonesia
Bagaimana keadaan di Indonesia ? Apakah para orang tua khususnya para ibu disini juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk memberi hukuman yang di luar batas kepada anaknya ?
Walaupun demikian mungkin ada baiknya kalau kita meninjau beberapa faktor dalam kebudayaan kita.
Kebanyakan penduduk kita beragama Islam. Dalam agama Islam maka perasaan hormat kepada orang tua sangat dipentingkan. Kepada status ibu diberi tekanan khusus. Dalam Al Qur’an surat Luqman ayat 14 tertulis: “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbakti kepada ibu-bapaknya karena ibunya mengandung dengan penuh penderitaan dan kesusahan dan baru dipisah menyusu setelah dua tahun. Bersyukurlah kamu kepada Ku dan kepada kedua orang tuamu. Kepada-Kulah tempat kamu kembali”
Di samping itu dalam Hadis juga dikatakan : “Surga ada di bawah telapak kaki ibu”.
Seorang wanita yang meninggal sewaktu melahirkan anak dianggap mati syahid.
Semua hal ini menunjukkan bahwa ibu mempunyai kedudukan yang cukup terhormat dalam masyarakat. Dengan demikian maka walaupun tugas ibu itu cukup berat tetapi dikompensasi oleh sikap masyarakat yang cukup hormat terhadapnya. Tugas dari lingkungan untuk membantu ibu juga tidak bisa diremehkan.
Setelah melahirkan sudah menjadi kebiasaan bahwa nenek yang dari anak yang baru dilahirkan itu datang membantu ibu yang masih lemah. Bila neneknya tidak bisa datang maka besar kemungkinannya keluarga lain akan datang membantu. Dengan demikian maka ibu tidak menghadapi tugasnya sendiri. Segala macam kesukaran, kelelahan, kerewelan bayi serta masalah lain yang berhubungan dengan perkembangan anak ditangung bersama oleh ibu dengan nenek atau wanita lain yang membantunya. Beban yang tadinya terasa berat akan menjadi ringan dan menghilangkan perlunya ibu memberi hukuman di luar batas.
Dalam masyarakat kita maka tanggapan orang terhadap anak juga berbeda. Anak dianggap akan membawa rezekinya sendiri. Anak juga dianggap sebagai titipan dari Allah SWT yang harus dipelihara, dididik dan dikembangkan dengan baik.
Keadaan ini menyebabkan bahwa para orang tua lebih mudah menerima kehadiran seorang anak.
Sikap terhadap anak umumnya dalam masyarakat kita sangat permisif. Contohnya misalnya anak dibiarkan menyusu pada ibunya selama bertahun-tahun. Pada umumnya juga tidak diadakan toilet training.
Toilet training hanya dilakukan oleh ibu-ibu dikota besar yang mempunyai pendidikan yang agak tinggi.
Pada umumnya kita juga masih jarang menggunakan kekerasan untuk penyelesaian masalah. Musyawarah dianggap sebagai penyelesaian yang lebih baik untuk mencapai suatu keputusan.
Sikap ini juga dianggap berlaku dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan anak. Disamping itu azas gotong royong dalam masyarakat serta hubungan kekeluargaan yang masih cukup erat juga mencegah para orang tua untuk memberikan hukuman fisik yang berlebihan. Bila orang tua ingin “menghajar” anaknya maka hal itu akan dicegah oleh anggota keluarga lain atau tetangganya.
Walaupun demikian terdapat kecenderungan bahwa keadaan masyarakat mulai berubah. Banyak keluarga terutama dalam kota besar sudah merupakan “nuclear family” yaitu keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Individualisme dan privacy merupakan nilai-nilai yang mulai dihargai. Setiap keluarga berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain atau keluarga lainnya. Sebagai akibat daripada itu maka pemberian hukuman di luar batas atau penganiayaan anak akan lebih mudah dan lebih sering terjadi. Hal ini disebabkan karena sebuah nuclear family mempunyai kemampuan yang terbatas untuk penyelesaian masalah.
Kasus-kasus pemberian hukuman di luar batas anak kadang-kadang kita jumpai dipoliklinik Psikiatri Anak R.S. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Pada orang tua membawa anaknya kerumah sakit bukan karena mereka merasa bersalah telah menghukum anak secara berlebih-lebihan tetapi karena anaknya nakal atau kurang pandai di sekolah. Para orang tua juga tidak secara langsung mengakui memberikan hukuman yang berlebihan dan baru setelah beberapa kunjungan mengakuinya. Ada yang menyundut anaknya dengan rokok karena anak itu tak mau belajar. Ada yang memaksa anaknya untuk pergi kesekolah dengan menarik-narik tangan anak sehingga kepala tulang lengan atas keluar dari sendi bahu. Kasus lain lagi ialah mengikat tangan anak dan memukulnya sampai biru-biru karena mencuri di sekolah.
Menurut survey yang dilakukan oleh poliklinik psikiatri anak pada tahun 1979 mengenai masalah kesulitan belajar maka 65% daripada orang tua mencoba menyelesaikan anaknya dengan memukulnya. Beberapa persen daripadanya merupakan hukuman di luar batas tidak diketahui.
8. Pencegahan penganiayaan anak
Telah dikemukakan bahwa pemberian hukuman yang di luar batas dapat mengakibatkan penganiayaan anak.
Selanjutnya maka kita akan terutama membahas bagaimana pendapat saya mengenai usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah penganiayaan anak.
Kita dapat membedakan dua cara pencegahan penganiayaan anak dalam keluarga.
1. Usaha yang secara khusus berhubungan dengan penganiayaan anak dalam keluarga.
Usaha inipun terdiri dari dua bagian lagi yaitu :
a. prevensi primer yaitu pencegahan sebelum penganiayaan anak terjadi.
b. Prevensi sekunder yaitu usaha untuk mengatasi masalahnya bila penganiayaan itu telah terjadi.
2. Usaha untuk mencegah penganiayaan anak pada umumnya
ad.VI.1.a. Prevensi primer
Dengan memperhatikan factor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penganiayaan anak dalam keluarga maka dapat dilakukan usaha-usaha pencegahan yang diintegrasikan dengan program yang sudah ada, misalnya:
1. meningkatkan kesehatan anak pada umumnya, antara lain :
- pemeriksaan waktu hamil supaya bayi yang dilahirkan selamat
- meningkatkan kesehatan dan gizi anak balita
- pemeriksaan kesehatan anak secara periodic melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (U.K.S)
Anak yang sehat lebih mudah diasuh dan dididik daripada anak yang sakit. Dengan mempunyai anak sehat maka beban orang tua lebih ringan daripada bila anak mempunyai gangguan fisik atau mental emosionil.
2. meningkatkan usaha Keluarga Berencana sudah bayi yang dilahirkan benar-benar merupakan anak yang diinginkan.
3. peningkatan pengetahuan mengenai perkembangan anak baik perkembangan fisik maupun perkembangan emosionil pada mereka yang langsung berhubungan dengan anak misalnya orang tua, guru, para pengasuh di panti asuhan dan pesantren.
4. mengadakan Kursus Persiapan Perkawinan bagi pasangan-pasangan yang merencanakan untuk menikah.
ad.VI.1.b. Prevensi sekunder
Bila penganiayaan anak telah terjadi maka keluarga serta anak yang mengalami penganiayaan itu harus dibantu. Telah diterangkan bahwa tidaklah mudah untuk melakukan deteksi daripada kasus penganiayaan anak sehigga haruslah dicari usaha-usaha yang efektif untuk menemukan penganiayaan anak. Bila ditemukan kasus penganiayaan anak maka keluarga harus ditolong untuk mengatasi masalahnya dengan meminta bantuan para ahli misalnya dokter anak, psikolog, dokter jiwa, ahli dalam ilmu-ilmu sosial (Social Worker) serta lainna seusai dengan kebutuhan. Bila pada evaluasi ditemukan bahwa orang tua tidak mempunyai kemampuan untuk mendidik anak (antara lain karena menderita sakit jiwa) maka sebaiknya anak dididik orang lain yaitu keluarga lain, foster-parents atau diminta bantuan daripada salah satu lembaga misalnya panti asuhan. Hal yang terakhir ini harus dikuatkan dengan undang-undang.
ad.VI.2. Usaha untuk mencegah penganiayaan anak pada umumnya
Dalam usaha ini termasuk melakukan penelitian :
1. penelitian mengenai anggapan masyarakat mengenai peranan anak, apa yang dinamakan anak baik serta kurang baik serta apa yang diharapkan daripadanya.
2. penelitian untuk mendeteksi penganiayaan anak
3. penelitian bagaimana individu mengendalikan agresi dan keadaan apa yang menyebabkan bahwa agresi menjadi tak terkendali.
Selanjutnya usaha yang dianggap sangat diperlukan ialah : penyempurnaan undang-undang atau pelaksanaan yang lebih baik daripada undang-undang yang sudah berlaku, yaitu yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan anak serta perlindungan terhadap kesehatan anak baik fisik maupun mental.
Jakarta, Agustus 1982
hukuman yang diluar batas terhadap anak dalam keluarga
Diposting oleh morearticles on Rabu, 10 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar