KEWAJIBAN BERTANGGUNG JAWAB
TERHADAP KETERLANTARAN ANAK
Oleh : Ibu Maftuchah Yusuf.
1. Pendahuluan
Arti kata keterlantaran anak di sini adalah ketidak dipeliharanya anak sesuai dengan apa yang dia perlukan bagi pertumbuhannya. Anak-anak untuk memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani memerlukan bantuan dan pembinaan. Mereka masih merupakan mahluk yang belum dapat berdiri sendiri dan masih memerlukan pemeliharaan, pembinaan dan perlindungan dalam pertumbuhannya. Dalam suatu masyarakat atau Negara beradab hak-hak anak untuk dapat tumbuh menjadi dewasa dilindungi oleh undang-undang. Orang tua, masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab terhadap diberikannya hak-hak tersebut kepada anak-anak. Dalam Universal Declaration of Human Right UNO hak-hak anak antara lain dicantumkan pada art 11 (b), yang berbunyi sebagai berikut :
The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and other means, to enable him to develop physically mentally, morally, spiritually and socially in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enactment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount consideration.
The child, for the full and harmonious development of his personality, needs love and understanding. He shall, wherever possible, grow up in the care and under the responsibility of his parents, and, in any case, in an atmosphere of affection and moral and material security; a child of tender years shall not, save in exceptional circumstances, be separated from his mother. Society and the public authorities shall have the duty to exend particular care to children without a family and to those without adequate means of support.
Dalam Universal Declaration on Human Rights tentang hak-hak anak yang dikeluarkan oleh PBB dinyatakan perlunya anak dilindungi terhadap segala bentuk “neglect, cruelty and exploitation” yang dideritanya.
Di Indonesia UUD 1945 memberikan hak dan kewajiban yang termuat dalam pasal 27, fasal 30, fasal 31, fasal 34 yang berbunyi : “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara, jelas memberikan perlindungan kepada mereka yang memerlukannya. Dan bagi anak-anak dalam keluarga dan masyarakat untuk tumbuh dan berkembang dengan baik UU Perkawinan No. 1/1974 fasal 45 dan UU tentang Kesejahteraan Anak telah memberikan jaminan-jaminan hukumnya.
Namun tampaknya setumpuk peraturan dan perundang-undangan belum cukup untuk melindungi dengan baik anak-anak terhadap “neglect, cruelty, exploitation dan memberikan pembinaan kepada anak yang mencerminkan ke Pancasilaan bangsa Indonesia. Kita perlu mengetahui lebih lanjut tentang “keterlantaran anak” yang masih merupakan gangguan besar dalam usaha kita membina generasi muda Indonesia demi tercapainya kesejahteraan hidup dunia dan akhirat.
Ada baiknya kita mempelajari pandangan agama Islam terhadap “keterlantaran” tersebut karena sebagian besar dari rakyat Indonesia adalah beragama Islam.
2. Ajaran agama Islam tentang hak-hak serta kewajiban anak serta perlindungan yang harus diperolehnya.
Mempelajari tentang hak dan kewajiban anak seperti diajarkan oleh agama Islam tidak dapat terlepas dari asal dan sumber anak itu diadakan dan dilahirkan, ialah keluarga.
Keluarga dalam arti yang sempit terdiri atas ayah, ibu dan anak. Anak sebagai hasil perkawinan antara dua makhluk yang berlainan jenis kelamin. Ajaran agama Islam memperhatikan secara khusus dan terperinci kehidupan keluarga. Ajaran agama Islam mengajarkan bagaimana membentuk dan mengelola keluarga, merumuskan prinsip-prinsip dalam cara bagaimana anggota-anggota keluarga harus saling berhubungan dengan mewujudkan ketenangan, keharmonisan, kebahagiaan atas dasar menjalin cinta kasih sayang antar dan inter keluarga. Ajaran agama Islam telah menggariskan fungsi, peran, tanggung jawab serta hak wewenang setiap jenis anggota keluarga dengan baik dalam rangka pokok dasar kehidupan manusia di bumi ini, ialah bahwa seluruh hidup dan mati manusia serta sholat dan ibadahnya adalah untuk Allah SWT (Surat Adzaariyat, ayat 56. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Dan sesuai dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an Al-Baqoroh ayat 30, Al-An’am ayat 165, Hud ayat 61 manusia diamanatkan hidup sebagai chalifah Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia diwajibkan membina kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya, masyarakat dan dunia dengan membina kemakmuran, peradaban dan kebudayaan manusia berdasarkan peraturan-peraturan Tuhan Yang Maha Esa (Hud: 61, Al-A’raf: 55).
Dalam hidup di keluarga umat yang beriman diwajibkan melaksanakan peran dan tanggung jawabnya sebagai chalifah Tuhan Yang Maha Esa. Dimulai dari bagaimana memilih jodoh yang baik, bagaimana mendidik dan membesarkan anak turunannya, umat yang beriman diberikan petunjuk dan pegangan secara terperinci, yang termuat dalam ayat-ayat Suci Al-Qur’an dan Hadits Nabi: di samping itu manusia sebagai chalifah Allah dilengkapi dengan akal dan dikaruniai dengan alam beserta kekayaannya.
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat diperintahkan oleh ajaran agama Islam untuk menjadi keluarga yang sakinah, yang tenteram dan bahagia (Al-Qur’an Surat Rum 21), sehingga dapat membentuk masyarakat yang marhamah, masyarakat penuh kasih sayang (Al Qur’an surat Al-Balad 17).
Dan dengan kekuatan keluarga-keluarga yang sakinah, masyarakat yang marhamah, diharapkan dapat terwujud Negara yang thayibah, Negara yang baik paripurna (Qur’an Surat Saba’ 15).
Agama Islam diwahyukan kepada umat manusia melalui utusan Allah SWT, ialah Nabi Muhammad SAW untuk membawa kebahagiaan dan kerahmatan (Qur’an surat Anbiya, ayat 107 menyebutkannya sebagai berikut : “Dan tidaklah Kami mengutus Kamu, melainkan untuk menjadi Rahmat bagi semesta Alam”
Semua peraturan dimaksudkan untuk mengingatkan manusia dan memantapkan hidupnya sebagai chalifah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Tuhan menjanjikan kemenangan bagi mereka yang betul mukmin, yang mengamalkan semua ajaran Qur’an (Qur’an Surat Ali Imran, fasal 139). Namun karena sebagian umat Islam meninggalkan ajaran Islam (Qur’an Surat Al-Furqan 30), maka Tuhan juga melupakan mereka. (Qur’an Surat Al Baqarah 64). Dan masih banyak lagi ayat Qur’an yang mengingatkan manusia agar tetap melaksanakan perintah Tuhan Yang Maha Esa, untuk berbuat amal saleh.
Ajaran agama Islam mengajarkan kepada umat Islam untuk bertaqwa, untuk selalu melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.
Perintah ajaran agama Islam tentang pembinaan anak, sebagai tunas penerus kehidupan dan kebudayaan orang tuanya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
(1). Anak-anak harus dicukupi dengan pangan, sandang, rumah, dalam suasana yang aman, tenteram dan tenang dan penuh kasih.
(2). Mereka harus dicukupi dengan pelayanan kesehatan yang mereka perlukan bagi pertumbuhan mereka dan waktu mereka sakit.
(3). Pelayanan pendidikan harus disediakan bagi perkembangan mereka dan bagi kelengkapan menghadapi hari depan mereka.
(4). Mereka harus didik dan disiplin serta dilatih agar tumbuh menjadi orang yang berbudi luhur dan bermoral tinggi.
(5). Mereka harus diperlakukan secara sama dan adil tanpa membedakan mereka dari segi jenis kelaminnya.
(6). Orang tua wajib memberikan contoh dan tauladan yang baik dalam hal melaksanakan amal ibadahnya, sebagai penanggung jawab atas pertumbuhan anak-anaknya.
(7). Orang tua bertanggung jawab atas tertanamnya jiwa pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa secara mendalam dan tertanamnya rasa cinta dan kasih sayang dan rasa kekaguman dan kepercayaan penuh terhadap Kemaha Esaan, Maha Kekuasaan atas sifat Tuhan sebagai Maha Penyayang, Pemurah dan Pengasih, serta Pengampun dan atas Kemaha Sempurnaan dan Kemaha Kemampuan Tuhan Yang Maha Esa.
Jika umat Islam pada umumnya dan orang tua anak pada khususnya betul-betul melaksanakan apa yang diajarkan dalam Kitab Suci Al Qur’an dan Hadits, pembinaan anak-anak akan tentu beres dan tidak akan ada lagi keterlantaran anak, tidak akan banyak anak yang diperlakukan secara kejam atau diluar batas kemanusiaan dan tidak akan banyak lagi anak yang diexploitir tenaganya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dengan masih banyaknya anak yang terlantar, anak yang menderita segala akibat dari kekurangan makanan dan gizi, berjuta-juta anak yang tidak menerima kasih sayang dalam pertumbuhannya, dan anak yang tidak dapat menerima pendidikan yang diperlukan untuk menghadapi hari depannya, umat Islam secara keseluruhan masih turut bertanggungjawab dan memikul dosa dengan membiarkannya berlangsung. Keterlantaran anak dalam mendapatkan segala yang dibutuhkan oleh pertumbuhannya adalah merupakan kesalahan ummat Islam secara keseluruhan dan kesalahan orang tuanya, saudara-saudaranya dan masyarakat sekelilingnya. Kesalahan ini jelas tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
3. Penyebab dan akibat dari keterlantaran anak terhadap tercapainya tujuan pembangunan
Ciri khas yang digambarkan menandai seorang itu beriman dan bertaqwa sesuai dengan ajaran Islam adalah sikap keramahannya dalam tindak tanduknya terhadap anak-anak khususnya anak yatim piatu. Ada suatu cerita sejarah yang menggambarkan hal tersebut. Ialah sewaktu kerajaan Islam di Spanyol berhasil dikalahkan oleh Raja Spanyol dan diperintahkan oleh raja tersebut untuk membasmi keislaman sampai ke akar-akarnya. Apa pun yang berbau Islam diberantasnya sampai habis. Namun masih saja ketakutan para raja tersebut mencekam hatiya. Lalu diperintahkan olehnya untuk membunuh semua orang yang baik terhadap anak-anak yatim. Karena dianggap sifat tersebut merupakan ciri khas dari seorang mukmin yang baik. Sejarah telah membuktikan bahwa jika perintah Tuhan yang tertulis dalam kitab suci Al Qur’an betul-betul ditaati dan dilaksanakan maka ummat Islam akan maju, mulia dan terhormat. Namun godaan syaitan dalam bentuk kesrakahan akan kekuasaan dan benda, kesewenang-wenangan, ketakaburan, meninggalkan tali hubungannya dengan Tuhan Penciptanya, semuanya telah membawa kemunduran yang memilukan kepada kejayaan Islam. Kemuliaan yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Munafiqun ayat 8, yang terjemahannya berbunyi: “Dan bagi Allah-lah kemuliaan dan bagi RasulNya dan bagi orang-orang yang beriman”. Juga Qur’an Surat Ar-Rum ayat 47, “Dan adalah hak bagi Kami (Allah) memberi pertolongan dari pada orang-orang yang beriman”. Pertolongan dari Allah dan kemuliaan yang dijanjikan adalah kepada orang yang beriman betul-betul. Orang yang yakin bahwa hidup matinya di dunia adalah untukk Tuhan Yang Maha Esa, bahwa segala yang ia lakukan adalah dalam rangka pengabdian kepada Pencipta Alam Semesta. Iman yang disirami setiap detik dengan amal perbuatan yang nyata, dengan membuktikan kesyukuran kepada Allah SWT, melalui penggunaan, kenikmatan-kenikmatan yang diberikan berupa kesehatan, kepintaran, ketrampilan dan harta benda untuk melaksanakan perintah Tuhan. Dan salah satu perintah Tuhan yang maha penting adalah mencukupi anak-anak kita dengan segala kebutuhan jasmani dan rohaninya sehingga dia dapat pada gilirannya meneruskan obor keimanan orang tuanya, menghadapi tantangan-tantangan zaman yang serba kompleks ini.
Qur’an surat Ar-Ra’ad ayat 11 mengingatkan kita kembali bahwa : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”.
Dan mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri salah satu adalah nasib beribu-ribu anak yang terlantar dalam segala-galanya. Umat Islam turut berdosa membiarkan berpuluh-puluh ribu anak tumbuh tersendat-sendat karena kekurangan gizi, membiarkan mereka menerima didikan dalam keluarga yang tidak mengetahui bagaimana mendidik anak sesuai dengan pertumbuhan jiwa raganya, membiarkan anak-anak jebol sekolahnya dan seterusnya. Semua orang Islam mendambakan adanya masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga yang mengetahui betul mendidik anak, suatu masyarakat yang secara ikhlas membantu anak-anak yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan dengan jasa, fikiran, harta bendanya. Organisasi-organisasi social keagamaan sudah cukup membuktikan peranannya dalam hal ini. Namun usaha ini masih harus ditingkatkan kwalitas dan kuantitasnya. Jangan malahan memberikan neraka dunia kepada anak-anak yatim dengan memasukkan neraka dunia kepada anak-anak yatim dengan memasukkan mereka ke dalam panti-panti asuhan yang gersang dari belaian kasih sayang pendidiknya.
Penyebab terbesar masih banyaknya anak yang terlantar adalah “ketidak tahuan” (ignorance) dari orang tua, pemimpin-pemimpin masyarakat, termasuk pemimpin agamanya.
Di samping “ketidak tahuan” tersebut, kemiskinan merupakan penyebab pula. Karena gejala untuk mendapatkan harta benda, halal atau tidak halal, telah sering mengkomersialisasikan usaha pemberian pertolongan kepada anak terlantar. Sebagian dari bantuan yang seharusnya digunakan memperbaiki tingkat kehidupan anak, masuk dalam saku-saku pribadi. Penyebab lainnya adalah belum dilaksanakan UU Perkawinan dan UU Kesejahteraan Anak dengan baik. Dan penyebab lain yang tidak kalah besarnya adalah sikap masyarakat yang semakin hari semakin menjauhi ajaran agama, karena disilaukan oleh gemerlapan harta benda, kemudahan hidup yang membawa erosi kepada norma, nilai dan adat istiadat ketimuran dan yang berdasarkan keagamaan.
Akibat dari keterlantaran anak pada hasil pembangunan cukup mencemaskan. Berpuluh-ribu anak tidak akan tumbuh dengan sempurna, baik dari segi jiwanya maupun raganya. Anak-anak ini akan menjadi dewasa dengan segala hambatan yang telah ditanamkan padanya. Manusia seutuhnya sebagai tujuan ahir pembangunan sukar sekali terbentuk dari mereka. Barisan penganggur, orang-orang yang tidak pernah disiplin maupun dilatih dalam hidup secara teratur dalam suasana saling sayang menyayangi, orang-orang yang mengalami pengalaman-pengalaman seakan-akan tidak ada keadilan dan kasih sayang, akan merupakan bagian yang nyata dari masyarakat kita yang ingin kita ciptakan bersama, ialah “Masyarakat adil dan sejahtera yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa”.
Kelompok-kelompok orang yang oleh karena keterlantarannya masa kecilnya pada masa dewaasnya tidak mampu memiliki pengetahuan, kertampilan serta sikap dan tingkah laku yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang baik, akan merupakan kelompok yang sering merupakan gangguan-gangguan pada keamanan dan ketenangan masyarakat, khususnya kehidupan beragamanya. Pemimpin-pemimpin organisasi-organisasi Islam perlu tampil ke depan menyusun suatu system pembinaan dan pemberian perlindungan kepada anak-anak yang terlantar. Dapatkah dipersatukan dana dan tenaga serta fikiran para cendekiawan, ulama, sosiawan dan dermawan yang semuanya ingin beramal untuk betul-betul mengorganisir suatu pengelolaan secara tuntas, efektif dan efisien, suatu system pendidikan “foster care” terhadap anak-anak yang terlantar ini ? Bukan panti asuhan yang kurang memberikan kebahagiaan kepada anak-anak. Namun suatu system “foster care” yang direncanakan dengan matang, dikelola dengan baik dan dibina serta disupervisi dan dievaluasi secara terus menerus.
4. Kesimpulan dan saran
Adanya masih sejumlah besar anak yang terlantar merupakan suatu noda hitam dalam masyarakat kita yang berdasarkan Pancasila. Umat Islam harus merasa bertanggung jawab dalam hal menangani masalah tersebut, karena membiarkan keterlantaran anak berlawanan dengan perintah agama Islam.
Umat Islam dari semua tingkat yang mampu harus bersatu dan bersama-sama dengan pemerintah mewujudkan suatu system pelaksanaan “foster care” bagi anak-anak yang terlantar. Yang mampu memberikan uang atau benda, memberikan uang dan bendanya, yang mampu memberikan jasa dan pengabdian, memberikan hal tersebut, dan yang hanya dapat menyumbangkan sumbangan fikiran, memberikan hal tersebut. Betulkah ciri khas dari masyarakat islam adalah keikhlasannya memberikan kasih sayang dan pembinaan pada anak-anak yang memerlukan bantuan tersebut ? Masihkah ciri tersebut terdapat pada zaman serba modern ini ?
Semoga anak-anak yang terlantar dalam waktu yang tidak lama merasakan hasil dari pertemuan seminar ini.
Amien.
Jakarta, 22 Juli 1982.
Daftar Buku Bacaan
1. Al Amier Syakib Arsalan, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, Bulan Bintang, Jak., 1976.
2. Altaf Ganhar, The Challenge of Islam, Islamic Council of Europe, 24 Grosvenor Gardens, London GWIW, DH 1978.
3. Dep. Agama, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Jak. 1974.
4. IPPF, Islam And Family Planning, Proceedings of the International Islam Conference, Rabat (Marocco) Dec. 1971, vol 1, Lebanon, 1971.
5. JDBTHI, Seminar Pembangunan Masyarakat Islam, JDBTHI Malang, 1968.
6. Khurse Ahmad, Islam Its Meaning and Message, Islamic Council of Europe, 24 Grosvenor Gardens, London SWIW. DH. 1976.
7. Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, Bulan Bintang, Jak., 1975.
8. UNESCO, Population Education, A Contemporary Concern, UNESCO, Paris, 1978.
kewajiban bertanggung jawab terhadap keterlantaran anak
Diposting oleh morearticles on Rabu, 10 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar