MASALAH ANAK TIDAK SAH
PERLINDUNGAN DAN PENYANTUNANNYA
Oleh :
Ny. CIPTANINGSIH UTARYO
“Bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anaktanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial”
(UU no.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak)
Dipersiapkan untuk
SEMINAR NASIONAL
PENELANTARAN DAN PERLAKUAN SALAH TERHADAP ANAK
MASALAH ANAK TIDAK SAH
Oleh :
Ny. Ciptaningsih Utaryo
Kata Pengantar
Dalam masyarakat dewasa ini masih terdapat kepekaan terhadap masalah anak luar nikah, sehingga jarang sekali atau katakanlah janggal sekali untuk membicarakannya secara terbuka di forum umum.
Tetapi karena masalah tersebut di atas erat pula kaitannya dengan masalah penelantaran dan perlakuan salah terhadap anak yang menjadi topic dalam seminar ini, maka penulis memberanikan diri untuk mengemukakan permasalahan tersebut di atas kehadapan para peserta seminar yang kami hormati, sesuai permintaan panitya.
Dengan membuka diri terhadap nasib anak-anak tersebut yang di luar kesalahannya ikut menanggung beban aib orang tuanya, maka perlulah ditanamkan kesadaran dalam masyarakat bahwa mereka adalah anggota generasi muda seperti anak-anak lainnya yang berhak pula mendapatkan perlakuan dan perlindungan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara wajar menjadi manusia seutuhnya. Karena pada umumnya mereka adalah anak-anak yang tidak dikehendaki, maka justru perlindungan dan perawatan sudah mereka butuhkan sejak masih dalam kandungan.
Dalam hal ini penulis ingin mengulangi kata-kata Bapak Presiden Suharto yang diucapkan sebagai sambutan pada pembukaan Kursus Penyegar Ibu dan Balita Angkatan II pada tanggal 7 September 1981 di Istana Negara ; seperti berikut :
“Anak yang sejak balita terlantar kesehatannya dan terabaikan pendidikan rohaninya tentu akan sukar menjadi manusia yang mampu membangun bangsanya. Tumbuh kembangnya anak-anak balita merupakan dasar pertumbuhan dan perkembangan anak-anak itu selanjutnya, baik perkembangan fisik maupun mentalnya, perkembangan kecerdasan maupun watak serta kesadaran sosialnya.
Dalam membina anak, bahkan tidak cukup kalau baru dimulai pada saat anak dilahirkan. Pembinaan anak bahkan sudah harus disiapkan sebelum anak-anak tersebut dilahirkan, semenjak anak masih dalam kandungan. Karena pemeliharaan anak semasa masih dalam kandungan merupakan pangkal tolak kelahiran anak yang sehat”
Tuntutan atas kesejahteraan dan perlakuan yang sama untuk anak-anak tersebut di atas, tercantum dalam Undang-Undang nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak yang berbunyi :
“Bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial” (Bab II Pasal 8.)
Rumusan dari pasal 8 tersebut di atas, sejalan dan sesuai dengan prinsip ke-I dari pernyataan Hak-Hak Anak dari PBB (Declaration of the Rights of the Child) yang berbunyi :
“The child shall enjoy all the rights set forth in this Declaration.
All children, without any exception whatsoever, shall be entitled to these rights, without distinction or discrimination on account of race, colour, sex, language, religion, political or other opinion national or sosial origin, property, birth of other status, where of himself or of his family.
Akibat dari keengganan masyarakat dan keluarga untuk menerima anak-anak luar nikah secara wajar, maka banyak diantara mereka yang setelah lahir diterlantarkan dan terdampar di luar lingkungan keluarganya.
Dalam menolong anak-anak tersebut masih dirasakan hambatan-hambatan perasaan pada sementara golongan warga masyarakat, yang lebih mengkaitkannya dengan tindakan penyimpangan dari si ibu.
Dalam kesemapatan ini penulis mengungkapkan tanggapan tertulis bapak Kol. (Purn) Haji Amirudin Siregar yang mewakili Majelis Ulama Indonesia dalam Lokakarya tentang Pengangkatan Anak yang diselenggarakan oleh Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Anak pada tahun 1976, antara lain seperti berikut :
“Di Indonesia mengurus anak-anak luar nikah adalah tabu baik dari segi adat maupun agama Islam. Oleh karenanya Majelis Ulama Indonesia memujikan kemuliaan hati mereka yang bergerak di bidang ini terutama DNIKS, dengan tak mengenal lelah walaupun banyak hambatan.
Hambatan-hambatan sebenarnya terutama adalah dari “ketidak mengertian” masyarakat, terutama dari faham agama yang dipersempit apabila menyoroti anak-anak hasil luar nikah yang dianggap anak haram dan menjijikkan. Benar seperti kata pemrasaran bahwa anak-anak yang hanya akibat tersebut harus menanggung jawab perbuatan orang tua yang melahirkan dan menterlantarkan mereka.
Mengenai anak yatim piatu, miskin, melarat, agama Islam positif/tegas sekali kewajiban untuk memeliharanya (Al Qur’an surat Al Ma’un dan Al Balad). Dan dari segi ini sebenarnya tanpa melihat lagi apa asal dari keyatim piatuan, apa sebab kemelaratan dan kesengsaraan si anak untuk tidak mengurusnya.
Kami menyetujui sepenuhnya alasan-alasan yang dikemukakan tentang apa yang menjadi sebab terlantarnya anak-anak yang mengakibatkan penitipan-penitipan itu.
Dan kenyataan bahwa banyak bayi yang dibunuh oleh ibunya sesuatu dosa besar menurut agama Islam, dosanya tidak hanya terpikul oleh ulahnya sendiri, tetapi turut pula menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah.
Demikianlah semoga dalam Seminar ini timbul pemikiran-pemikiran untuk lebih meningkatkan kesejahteraan anak-anak terlantar dan bilamana perlu dengan berani melakukan pembaharuan-pembaharuan pola pelayanan demi untuk perlindungan anak.
I. PENDAHULUAN
I.1. Kedudukan anak tidak sah, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat adalah sangat sulit.kadang-kadang bahkan dianggap pembawa musibah untuk lingkungannya dan karena itu perlu disingkirkan secepat-cepatnya dari lingkungan tersebut. Wanita yang mengandung di luar pernikahan yang sah merupakan aib keluarga.
Untuk menghapus aib tersebut pada umumnya yang dilakukan adalah segera mengawinkan si calon ibu, dan dengan demikian anak yang akan lahir adalah anak yang sah.
I.2. Perkawinan tersebut dapat berupa “kawin paksa” yang berarti pria yang menghamili wanita tersebut harus mengawininya, kadang-kadang pemaksaan disertai ancaman. Bilamana si pria dengan sukarela mau melakukan perkawinan berdasarkan rasa tanggung jawab, tentulah tidak menimbulkan masalah.
Dalam kenyataan, kawin paksa sukar dilaksanakan karena tidak mudah untuk mencari bukti ataupun saksi yang cukup kuat untuk dapat memaksa orang mengakui perbuatannya yang mengakibatkan mendandungnya si wanita.
Pengaduan kepada yang berwajib tidak akan mendapat tanggapan kecuali bilamana terjadi kejahatan pemerkosaan. Di dalam KUHP – Bab XII. ayat 287 tertulis bahwa : - Menyelidiki soal siapakah bapak seorang anak adalah terlarang.
Adapula cara lain yang biasanya ditempuh bilamana tidak dapat menemukan pria yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut, ialah dengan melakukan “kawin tambelan” (Jawa) atau dalam bahasa Bugis “pattongkoh sirik” yaitu mengawinkan si wanita dengan sembarang orang yang bersedia melakukannya”.
Dengan dilaksanakannya perkawinan tersebut, baik kawin paksa, kawin tambelan maupun perkawinan yang agak terlambat, anak yang dilahirkan kemudian adalah anak yang sah, dan si anak mendapatkan kedudukan yang wajar di masyarakat. Hanya perlu difahami bahwa dalam hal ini yang menjadi titik perhatian adalah kedudukan si anak dan kehormatan keluarga. Perihal kebahagiaan yang bersangkutan di dalam pernikahan terpaksa tersebut merupakan faktor yang tidak masuk pertimbangan sama sekali. Demikian pula akan hal nasib si anak yang lahir dalam perkawinan tambelan, apakah dia dapat diterima dan diperlakukan sebagai anak kandung si ayah, tidak terfikirkan pula.
Tetapi ada kalanya “kawin tambelan” akan segera di ikuti oleh perceraian, karena motivasi perkawinan hanyalah untuk mengusahakan sahnya si anak dan keluarga tidak menanggung malu.
I.3. Adakalanya pria bersedia mengakui anaknya yang lahir dari hubungannya dengan wanita ibu si anak di luar pernikahan yang sah. Di Minahasa perbuatan tersebut ditandai dengan memberikan hadiah kepada si ibu yang disebut “lilikur”. Di Jawa di kalangan bangsawan, biasanya dilakukan dengan pemberian nama dan gelar kebangsaan. Sebagai akibat dari tindakan tersebut hubungan si anak dengan ayah biologisnya adalah seperti anak dengan ayah sahnya. Di kalangan bangsawan Jawa gelar anak tidak sah tingkatannya ada di bawah gelar yang sah.
Anak yang tidak boleh diakui adalah :
- yang lahir dari hubungan di luar pernikahan yang sah antara kerabat dekat.
- yang lahir dari hubungan di luar pernikahan yang sah antara orang berkeluarga (KUHP Pasal 283)
kecuali itu ada ketentuan bahwa pengakuan hanya boleh dilakukan oleh si ayah bilamana dia sudah berumur 19 tahun, dan dengan seijin ibu (KUHP – (282) (284).
I.4. Meskipun sudah adanya peluang yang dapat ditempuh agar si anak mempunyai kedudukan yang lebih baik dan ditoleransikan masyarakat, tetapi masih banyak sekali terjadi bahwa wanita yang hamil di luar pernikahan yang sah dan tidak dapat menuntut pertanggungan jawab fihak pria yang bersangkutan, berusaha untuk menutupi aib dengan jalan menggugurkan kandungannya. Bilamana usaha tersebut tidak berhasil, maka didorong oleh kekalutan pikiran ada kalanya yang sampai hati untuk membunuh bayinya. Tetapi ada pula para wanita yang mengalami nasib jelek tersebut mendapatkan keberanian untuk menyerahkan bayinya kerumah-rumah sakit, rumah bersalin ataupun ke panti-panti sosial. Dan adapula yang segera menyerahkan bayinya ke keluarga yang bersedia memungutnya untuk dijadikan anak angkat.
Dalam keadaan seperti yang diungkapkan di atas di mana si ibu hamil tidak mendapatkan perlindungan keluarga, maka sesungguhnyalah bahwa si anak sudah dalam keadaan terlantar sejak semasa dalam kandungan.
II. KETERLANTARAN ANAK SEMASA PRENATAL
II.1. Masa kehamilan seorang wanita adalah masa yang paling peka dan paling menentukan dalam kehidupan bayi yang akan dilahirkan. Pertumbuhan dan perkembangannya dalam garis besarnya dipengaruhi oleh :
- faktor-faktor dari dalam
- faktor-faktor dari luar, ialah lingkungan pertumbuhan janin, dan hal-hal lain dari luar yangdapat mempengaruhi lingkungan pertumbuhan janin.
- gabungan dari kedua faktor tersebut di atas.
Faktor dari dalam adalah faktor keturunan yang dibawa oleh orang tua ataupun generasi-generasi sebelumnya.
Pada ibu-ibu hamil di luar nikah akibat paling besar adalah pengaruh faktor dari luar, ialah:
a. faktor kejiwaan si ibu
b. faktor kekurangan gizi dan pemakaian obat-obat untuk menggugurkan janin.
Si ibu yang sedang didera rasa bersalah, cemas, takut dan malu akan mengalami kegoncangan batiniah, di samping telah adanya tekanan-tekanan kejiwaan yang biasa dialami oleh setiap wanita yang sedang hamil. Faktor kejiwaan tersebut akan besar pengaruhnya dalam pembentukan watak dan pribadi anak yang dikandungnya. Dan dalam hal ini tentulah sangat merugikan si anak dikemudian harinya.
II.2.Kekurangan gizi disebabkan karena dalam keadaan kalut si ibu tentulah tidak mengindahkan kebutuhan gizi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi janin yang sedang tumbuh, lebih-lebih bilamana dia sudah dikucilkan oleh keluarga dan dalam kesulitan keuangan. Usaha pengguguran kandungan dengan jalan meminum berbagai obat sudah barang tentu akan berakibat fatal bagi si janin.
Akibat-akibat yang ditimbulkan dari faktor-faktor tersebut di atas antara lain adalah:
1. Pertumbuhan janin dalam kandungan terhambat
2. Differensiasi organ-organ tubuhjanin dalam kandungan yang terganggu.
3. Komplikasi kehamilan
4. Kematian janin dalam kandungan
5. Abortus
6. Lahir mati
7. Cacat bawaan
8. Berat badan dan panjang badan bayi lahir kurang
9. Prematuritas
10. Komplikasi kehamilan dan persalinan, antara lain trauma lahir, asfiksia.
11. Infeksi
II.3.Dalam bukunya yang berjudul “PSikologi Anak” Dra. Kartini Kartono menulis :
“Ibu dan janin/bakal anak itu merupakan unitas organic yang tunggal. Gangguan-gangguan pada diri ibu, baik yang jasmaniah maupun rohaniah (misalnya suatu penyakit parah atau gangguan emosionil yang serius) akan mengganggu pula kondisi janinnya. Penghayatan psikis ibu pasti juga dialami oleh bayi dalam kandungan. Jika seorang ibu mengalami gangguan-gangguan emosionil yang kuat dan menolak dengan keras kehamilannya, maka ada kemungkinan bahwa bayi itu juga tidak mau hidup”, dan wanita itu akan mengalami keguguran. Atau dapat juga timbul gangguan pathologis yang menghambat proses biologis dari pertumbuhan janin”
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dengan mengingat bunyi ketentuan dalam UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Bab II pasal 2 ayat 3:
- Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
Maka cara yang harus ditempuh sesungguhnya adalah harus berusaha menolong ibu-ibu anak-anak tidak sah yang dikucilkan dari keluarganya, sebagai usaha pencegahan penelantaran anak semasa masih dalam kandungan
III. ANAK-ANAK TIDAK SAH YANG DITERLANTARKAN
III.1.Dalam hal keluarga mengambil keputusan untuk menerima si ibu tanpa anak tidak sahnya, maka si ibu disudutkan pada pilihan yang berat, lebih-lebih bilamana si ibu masih secara ekonomis tergantung pada orang tuanya. Pada umumnya si ibu memilih kembali ke orang tua dengan mengorbankan si anak.
Anak diserahkan kepada keluarga lain secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui suatu Yayasan Sosial yang diberi kuasa untuk mencarikan orang tua angkat bagi anaknya.
Dengan sukarela si ibu memutuskan hubungannya dengan anaknya bilamana si anak diserahkan kepada sebuah Yayasan Sosial, agar si anak dapat diadopsi keluarga lain yang biasanya hanya mau mengambil anak bilamana ada jaminan bahwa si anak tidak akan dituntut kembali atau dihubungi lagi oleh keluarga aslinya.
Lebih menguntungkan bagi si ibu bilamana anak dapat dipungut oleh anggota kerabat sendiri. Hubungan tidak akan putus dan akan selalu dapat mengikuti perkembangan si anak. Tetapi pada akhir-akhir ini banyak keluarga yang lebih senang mengambil anak yang tidak diketahui orang tuanya, karena dengan demikian mereka terhindar dari rong-rongan orang tua si anak dan merasa lebih aman dan tenteram mengasuh anak yang dapat diperlakukan seperti anak sendiri, dan tidak ada kemungkinan untuk harus menyerahkan kembali si anak kepada orang tuanya sendiri.
Selain karena ketergantungan ekonomi, pada umumnya alasan penyerahan anak oleh si ibu tersebut di atas adalah karena malu mempunyai anak tidak sah.
III.2. Faktor malu dicerca masyarakat adalah sebab yang utama dari para ibu yang mempunyai anak yang tidak sah sampai hati meninggalkan anak-anak mereka di sembarang tempat.
Banyak diantara mereka melarikan diri dari rumah-rumah sakit atau rumah bersalin setelah melahirkan, dengan meninggalkan alamat palsu.
Kadang-kadang dengan sengaja mereka meletakkan bayinya di tempat-tempat umum dengan pengharapan agar si anak diketemukan orang dan dirawat dengan semestinya. Yang paling jelek nasibnya adalah para bayi yang menemui ajalnya dibunuh ibu kandungnya sendiri.
III.3. Adakalanya anak-anak tersebut di atas oleh ibunya dititipkan di Panti Asuhan atau Panti Perawatan Balita dengan janji akan mengambilnya kembali dan akan mengunjunginya secara teratur selama dititipkan.
Tetapi setelah berlangsung beberapa lama si ibu tidak datang lagi dan pergi tanpa meninggalkan alamat.
Penelantaran anak dengan cara demikian adalah sangat merugikan si anak, karena nasibnya tidak menentu.
Biasanya anak-anak yang demikianlah yang kemudian menjadi penghuni panti-panti asuhan.
IV. PENYANTUNAN ANAK-ANAK TIDAK SAH YANG TERLANTAR
IV.1. Sebagai penjabaran dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 yang berbunyi:
- Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara
(Negara dalam pengertian pemerintah dan masyarakat).
Maka pada tahun 1981 dengan Peraturan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1981 telah dikeluarkan tentang organisasi sosial yang dapat menangani anak-anak terlantar baik dalam segi penyantunan, pembinaan dan bimbingannya.
Termasuk dalam kategori terlantar tersebut dalah anak-anak tidak sah yang terlantar di luar lingkungan keluarganya dan terdampar di panti-panti sosial, rumah-rumah sakit dan lain-lain.
Sebelum dikeluarkan peraturan tersebut, banyak terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan-penyimpangan dalam masalah penyantunan anak-anak balita terlantar yang sebagian besar adalah anak-anak tidak sah yang ditinggalkan para ibu kandungya, misalnya dengan adanya usaha “jual beli anak” yang dilakukan oleh oknum-oknum dengan berselimut usaha sosial, peri kemanusiaan dan perlindungan anak.
IV.2. Usaha menampung anak-anak tersebut dalam panti-panti perawatan, bilamana menyangkut anak-anak di bawah umur lima tahun atau balita sebaliknya hanya untuk waktu tidak terlalu lama, dan segera dicarikan penyelesaian agar si anak dapat diasuh dalam lingkungan keluarga.
Anak bawah usia lima tahun memerlukan kasih sayang orang tua. Di panti-panti perawtan kasih sayang terbagi dengan banyak anak dan stimulasi kurang sekali. Para perawat kekurangan waktu dan tenaga untuk dapat memperhatikan perkembangan si anak secara seksama.
Akibatnya anak mengalami kehampaan psikis, kering dari perasaan yang dapat mengakibatkan retardasi kelambatan pertumbuhan pada semua fungsi jasmaniah juga ada hambatan fungsi rohaniah, terutama sekali pada perkembangan intelegensi danemosi. Meskipun para pengurus suatu Panti Sosial selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan lingkungan pengganti keluarga bagi para anak-anak asuhannya, tetapi karena situasi dan kondisi biasanya kurang memungkinkan, satu-satunya jalan hanyalah berusaha menempatkan anak dalam keluarga.
V. LEMBAGA PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI SARANA PERLINDUNGAN/ PANGAYOMAN UNTUK PARA ANAK TIDAK SAH YANG TERLANTAR
V.1. Intervensi yang secepatnya dalam usia sedini mungkin dapat menekan dampak dari Penelantaran anak-anak tersebut di atas sejak dalam rahim ibu sampai ke lingkungan panti-panti asuhan.
Anak harus segera terpenuhi kebutuhannya yang paling pokok, ialah cinta kasih orang tua, kehangatan yang dapat menimbulkan rasa aman, rangsangan secara terus menerus dan dilakukan dengan penuh perhatian, pemberian cukup gizi dan kebutuhan fisik biologis dan sosial lainnya.
Lingkungan sosial yang baik di mana si anak dapat diterima secara wajar tanpa adanya bayangan “ketidak sahnya” akan menjadikannya seorang yang bahagia, terpenuhi kesejahteraannya secara lahir dan batin.
V.2. Lingkungan yang seperti di atas hanyalah akan didapatnya dalam lingkungan keluarga yang sungguh-sungguh menghendaki tanpa menghiraukan latar belakangnya. Dan keluarga yang demikian hanyalah keluarga angkat yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang cukup.
V.3. Penempatan dalam lingkungan keluarga angkat harus dilakukan dengan persiapan yang teliti dan matang demi untuk terjaminnya perlindungannya dikemudian hari.
Pengangkatan anak yang dilakukan melalui persidangan di Pengadilan Negeri akan lebih menjamin perlindungan hukum baik untuk si anak maupun untuk fihak keluarga angkatnya.
V.4. Pengangkatan anak secara “adopsi” adalah yang paling baik, karena si anak akan lebih terjamin hari kemudiannya.
Dengan diadopsi, maka anak tidak sah yang sudah ditolak dan diputus hubungannya oleh si ibu dan keluarganya, dan diterlantarkan sejak masih dalam kandungan, akan mendapatkan kasih sayang orang tua, yang akan memberikan kedudukan sebagai anak kandung dan hak waris harta gono-gini mereka.
Adopsi yang dilaksanakan menurut prosedur seperti yang dilaksanakan oleh Yayasan Sayap Ibu dan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, pada waktu ini sudah cukup menjamin kesejahteraan anak di kemudian hari. Tetapi akan lebih baik bilamana Pemerintah dapat segera mengeluarkan Undang-Undang tentang Pengangkatan Anak.
Undang-Undang yang dimaksud adalah seperti yang tertulis dalam Undang-Undang No. 4 Tahun1979 tentang Kesejahteraan Anak Bab IV pasal 12 ayat 13 yang berbunyi :
“Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”.
Di samping itu tentulah perlu diatur pula Pengangkatan Anak menurut adat dan kebiasaan di mana tidak ada pemutusan hubungan antara ibu/keluarga dengan si anak, di mana yang diutamakan adalah kepentingan kesejahteraan anak.
VI. KESIMPULAN DAN HIMBAUAN
1. Anak tidak sah (di luar nikah ) berhak atas Perawatan dan Perlindungan, baik semasa dalam knadungan maupun sesudah dilahirkan, sama dengan anak-anak lainnya.
2. Pencegahan kelahiran anak tidak sah adalah dengan meningkatkan usaha pembinaan remaja dan lingkungannya, terutama lingkungan keluarga.
3. Pencegahan penelantaran dan perlakuan salah terhadap anak tidak sah semasa masih dalam kandungan, adalah dengan jalan melindungi ibunya, baik fisik maupun psikis, dan bilamana diperlukan dengan usaha penyantunan khusus.
4. Penyantunan untuk Balita terlantar yang diserahkan oleh para ibu yang mengandung di luar pernikahan yang sah antara lain ialah dengan jalan menempatkan dalam lingkungan keluarga angkat.
Paling baik adalah secara ADOPSI yang dilaksanakan dengan persiapan dan prosedur yang teliti, karena akan terjamin kesejahteraannya.
5. Menghimbau Pemerintah agar segera mengeluarkan Undang-Undang Pengangkatan Anak.
6. Menghimbau Pemerintah agar AKTE LAHIR anak-anak luar nikah tidak mengakibatkan beban psikologis bagi si anak dan dikembangkannya peraturan Catatan Sipil baru yang memperhatikan faktor hambatan tersebut di atas.
Yogyakarta, 10 April 1982
Ny. C. U t a r y o
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Imam Sudiyat : Hukum Ada. Sketsa asas. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1978
2. Hilaman Hadikusumo, SH. Hukum Waris Adat. Penerbit Alumni, Bandung, 1980.
3. Nani Suwondo : Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat. Penerbit Timun Mas., Jakarta, 1968.
4. Dr. Saparinah Sadli, Dr. Sudirgo Wibowo, dr. Does Sampurno : Laporan Mengenai Pelayanan Balita di Delapan Kota.
5. Dra. Kartini Kartono : Psikologi Anak. Penerbit Alumni, Bandung, 1979.
6. dr. Nartono Kadri : Perkembangan Janin dan Faktor yang Mempengaruhinya. Kertas kerja pada Kursus Penyegar Ibu dan Balita, Tahun 1981.
Ketentuan-ketentuan dalam :
a. UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
b. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
c. UUD-1945 Pasal 34
d. Peraturan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1981
- Surat Keputusan Dir.Jen.Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial No.004/1982.
CIPTANINGSIH UTARYO
DERESAN 3 DEPOK
YOGYAKARTA
CURICULLUM VITAE
1. N a m a : Ny. Ciptaningsih Utaryo
2. U m u r : 52 Tahun
3. A l a m a t : Deresan 3 Depok, Yogyakarta
4. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
5. Jabatan di organisasi sosial : - Anggota Dewan Nasional Indonesia untuk
Kesejahteraan Sosial (DNIKS) di Jakarta
- Ketua Yayasan Sayap Ibu Dewan Pimpinan Pusat
- Ketua Yayasan Sayap Ibu Cabang Yogyakarta
- Ketua II Bagian Koordinasi Kegiatan Sosial DIY
6. Organisasi lain : Anggota Korps Wanita Veteran Republik Indonesia
7. Pengalaman training : Leadership Training di USA dan Malaysia.
masalah anak tidak sah perlindungan dan penyantunannya
Diposting oleh morearticles on Rabu, 10 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar