PERILAKU SEKSUAL TERHADAP ANAK
SEXUAL ABUSE
Oleh
Ny. Sawitri Supardi•
Dibacakan pada Seminar Nasional mengenai Penelantaran dan Perilaku Salah Terhadap Anak yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Agustus 1982
I. PENDAHULUAN
Perilaku seksual terhadap anak (sexual abuse), merupakan salah satu masalah dalam ruang lingkup penelantaran anak.
Apabila masalah penelantaran anak dengan segala ekses-eksesnya tidak segera kita atasi, maka tidak dapat disangkal lagi akan masa depan bangsa yang suram. Kepada anak-anak kitalah kita mempertaruhkan kelanjutan dan kesinambungan bangsa kita.
Dalam makalah ini, penulis bermaksud membahas sejauh mana sepek perilaku seksual terhadap anak dengan segala konsekuensinya degradasi perkembangan mental maupun moral yang melanda anak-anak kita dewasa ini.
Untuk itu penulis akan menyajikan beberapa kasus perilaku seksual yang penulis ambil baik dari Praktek Pribadi, dari data. Kasus di Pengadilan Negeri Tingkat I Bandung dan Hasil Observasi terhadap beberapa industri yang menggunakan Tenaga Buruh di bawah umur. Dalam pada itu secara tidak disadari industri tersebut telah menjerumuskan buruh di bawah umur ke dalam lingkaran iklim Psikoseksual yang tidak sehat. Apabila kita tinjau dari sudut pandangan Ilmu Perkembangan Jiwa, sungguh sangat mengkhawatirkan.
Melalui makalah ini penulis bermaksud memberikan pertanda (warning) bagi Pemerintah agar usaha melindungi dan meningkatkan kesejahteraan tunas bangsa kita lebih digalakkan demi kesinambungan kehidupan bangsa dan Negara yang sehat dan sejahtera.
II. ANEKA PERILAKU SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK
Dalih apapun yang menjadikan penyebab libatan anak-anak dalam perilaku seksual adalah TINGKAH LAKU MENYIMPANG.
Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik untuk tujuan obyek seksual maupun untuk tujuan komersial, memberikan pengaruh yang sangat negatif bagi perkembangan jiwa anak.
Untuk itu kita dapat mengelompokkan perilaku seksual yang menyimpang dalam beberapa kategori penyimpangan sebagai berikut :
1. Untuk tujuan obyek seksual :
a. Pedophilia :
a.1. Homoseksual Pedophilia
a.2. Heteroseksual Pedophilia
b. Hyper Seksualitas
c. Keterbatasan Kesempatan (Isolated Geografis) dan Keterbatasan Kemampuan Sosial Ekonomis.
2. Untuk tujuan sebagai pencari nafkah keluarga
a. Orang tua yang dengan sengaja menjadikan anaknya sebagai tenaga pencari unang dengan memaksa anak menjual diri, melakukan kegiatan prostitusi. Keadaan ini sering terjadi pada lingkungan keluarga yang taraf sosial ekonominya sangat rendah dan norma (standard) moralnya pun rendah.
b. Germo (pengelola praktek prostitusi). Para Germo akan terus berusaha mencari gadis muda untuk melayani langganannya. Biasanya mereka akan mencari gadis desa yang masih polos dan lugu, dan dibujuk untuk diberikan pekerjaan di kota dengan janji muluk.
Sesampainya di kota, mereka diberi pakaian bagus dan makanan enak, tetapi setelah itu dipaksa untuk melayani hasrat seksual para hidung belang. Gadis desa yang terpedaya ini biasanya berkisar antara umur 14 – 16 tahun, pada umur yang belum mencukupi usia pernikahan.
3. Untuk tujuan avonturir seksual
Di samping kategori tersebut di atas ada pula sementara anak perempuan dan laki-laki yang mencari kehangatan emosional di luar rumah melalui perilaku seksual eksesif dan bersifat avonturir, baik dengan rekan sebaya maupun pasangan dewasa.
Biasanya mereka ini berasal dari keluarga yang tidak memberikan kasih sayang, kehangatan emosional, dan perhatian yang cukup, bahkan sering menelaah kehadiran mereka (rejected).
Anak-anak tersebut merasa kurang aman dan biasanya standard moral keluarganya pun sangat rendah.
Di Bandung, kelompok anak perempuan yang melakukan kegiatan semacam ini disebut dengan istilah Gongli (singkatan dari istilah Bagong Lieur) dan bagi anak laki-laki, lebih sering disebut dengan istilah kelompok Grepe.
Mereka sama sekali tidak memikirkan akan akibat fatal dari pebuatan mereka tersebut. Bagi anak perempuan akiatnya jauh lebih parah, karena apabila keterlibatan perilaku seksualnya sudah eksesif, secara tidak sadar ia justru dimanfaatkan oleh orang dewasa dan bahkan sering dijerumuskan ke dalam dunia prostitusi yang professional.
Kepribadian anak perempuan semacam ini cenderung berkembang kearah kepribadian neurotic dengan gejala hysterici.
Perlu dicatat bahwa pada kategori ke III ini, aktifitas mula berasal dari pihak anak-anak yang pada dasarnya adalah mencari kehangatan emosional melalui kontak fisik dengan lawan jenis.
III. PEMBAHASAN TEORITIS DARIPADA ANEKA PERILAKU SEKSUAL TERHADAP ANAK DENGAN BEBERAPA CONTOH KASUS
a.1. PAEDOPHILIA HETEROSEXUAL
Arti Paedophilia sebenarnya adalah cinta kepada anak-anak. Akan tetapi terjadi perkembangan kemudian, sehingga secara umum digunakan sebagai istilah untuk menerangkan salah satu kelainan perkembangan psiko seksual di mana individu memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak-anak.
Keintiman seksual dicapai melalui manipulasi alat genital anak-anak atau oleh anak, melakukan penetrasi penis sebagian/keseluruhan terhadap alat genital anak.
Sering juga anak-anak dipaksa melakukan relasi oral genital atau anal genital. Kebanyakan kaum paedopnilia adalah pria, tetapi dalam pemuasan hasrat erotisnya sering juga melibatkan anak perempuan.
Mereka akan mencari anak-anak yang polos, untuk dijadikan mangsanya dengan bujukan/rayuan/memberinya gula-gula/coklat/uang jajan.
Sering mangsanya adalah anak-anak dari temannya sendiri, anak tetangga atau bahkan anak-anak saudaranya (keluarganya).
Di antara kaum paedophilie ini, ada juga yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak sendiri.
Apabila sudah terlaksana pelampiasan hasrat seksualnya, biasanya anak-anak yang polos tersebut diancam dengan kekerasan agar tidak berani menceritakan peristiwa yang dialaminya pada orang lain, termasuk orang tuanya sendiri.
Seperti dalam contoh kasus berikut ini :
Kasus I : Seorang kakek (72 tahun) baru 2 minggu isterinya meninggal dunia. Ia mengeluh pada tetangga sebelah bahwa ia tidak sanggup tidur di rumah sendiri karena selalu terkenang pada isterinya.
Tanpa menaruh curiga tetangga menawarkan agar kakek tersebut tidur dengan anak perempuannya yang baru berumur 8 tahun. Anak perempuan itu rupanya juga sangat sayang pada Kekek yang “baik hati”, dan ia sudah menganggapnya sebagai kakeknya sendiri. Anak ini sering diberi uang jajan setiap akan pergi ke sekolah antara Rp. 25,- - Rp. 50,-.
Pada suatu pagi anak itu menangis ketika buang air kecil dan luka-luka pada organ genitalnya. Setelah ditanya berulang-ulang oleh ibunya, dengan takut-takut si anak menceritakan bahwa ia telah diperlakukan oleh “kakek” tersebut.
Anak tersebut belum mengerti ia diapakan hanya ia merasa sakit, dan diancam oleh “kakek” tersebut untuk tidak menceritakan pada siapapun. Kata “Kakek” kalau sampai bercerita ia akan dicubit sampai mati. Ketika “Kakek” tersebut ditanya, ia mengaku bahwa ia tidak dapat menahan nafsunya setelah melihat roknya anak tersebut tersingkap sewaktu si anak sedang tidur.
Paedophile mungkin merasa impotent atau merasa tidak mampu untuk melampiaskan nafsu birahinya kepada wanita dewasa.
Biasanya kecenderungan ini muncul setelah pertengkaran dengan istri atau direndahkan oleh teman-temannya. Tetapi pada kasus I ini perilaku seksual yang dilampiaskan terhadap anak tersebut, bisa disebabkan oleh karena istri meninggal dunia, kurang berani untuk melampiaskan nafsu tersebut pada wanita dewasa di luar pernikahan.
Moral yang rendah pada kakek ini pun merupakan salah satu factor penyebab perilakunya tersebut.
Kecuali itu rasa kebencian, kemarahan dan dendam terhadap wanita juga akan melatar belakangi perilaku paedophilia.
Di sini terdapat kombinasi antara :
- regresi
- takut impotent
- hambatan moral dan ethis yang lebih rendah
- kesempatan yang terbatas, untuk mendapatkan pasangan seksual yang wajar.
Sedangkan Kinsey, menambahkan bahwa penurunan reaksi erotik, kehilangan kapasitas untuk penampilan dan penurunan kehidupan emosi daripada seseorang individu yang disebabkan oleh rasa kesunyian di hari tua baik sebagai orang tua atau kakek, mendorong seseorang untuk menguasai/ menarik perhatian anak-anak tetangga tau cucunya sendiri.
Dan anak-anak belum mengerti sama sekali akan mekanisme coitus, sehingga mereka menginterpretasikan pendekatan “kakek” sebagai salah satu rasa kasih sayang yang diberikan orang dewasa kecuali orang tuanya sendiri.
Anak-anak tidak memahami bahwa perlakuan “Kakek” merupakan usaha perkosaan.
a.2. PAEDOPHILIA HOMOSEKSUAL
Ketakutan castrasi juga melatar belakangi paedophilia. Untuk itu paedophilia homoseksual memanipulir anak laki-laki sebagai obyek pemuasan hasrat seksualnya.
Kasus II : Seorang anak laki-laki (berumur 15 tahun), menderita anxiety neurosa, pengalaman traumatic yang ia alami terjadi ketiak ia berusia 13 tahun, kelas I SMP, pada saat itu guru matematikanya seorang pria berumur kira-kira 25 tahun, mengundangnya ke rumah dengan alasan akan diberi tambahan pelajaran. Tetapi ternyata ia dipaksa untuk melakukan oral genital oleh guru tersebut, dengan ancaman akan diberi nilai 3 untuk matematik di raport.
Di samping itu gurunya juga memainkan alat genitalnya sehingga ia pun merasakan adanya rangsangan seksual.
Pengalaman ini begitu mengesankan, sehingga ia terpaku dan bahkan setelah kejadian pertama justru ia sendiri ketagihan dan ingin mengulang perbuatan tersebut. Sehingga terbinalah relasi paedophilia homoseksual.
Tetapi pada pihak lain ia merasa sangat berdosa karena perilaku itu sangat bertentangan dengan ajaran agamanya. Ia menderita ketegangan psikis dan menjadi neurotic, konsentrasi terganggu serta prestasi belajarnya pun semakin menurun, merasa gagal dalam hidup. Kegagalan demi kegagalan saling tumpang tindih disertai oleh peningkatan derajat ketegangan emosional dan keterpakuan terhadap perilaku homoseksual pun semakin tertanam.
b. INCEST
Incest digambarkan sebagai kejadian relasi seksual diantara individu yang berkaitan darah.
Tetapi istilah tersebut juga akhirnya dipergunakan secara lebih luas yaitu untuk menerangkan hubungan seksual ayah tiri – anak tiri, antar saudara tiri, padahal kedua hubungan seksual yang terakhir ini tidak terjalin pada individu yang berkaitan darah.
Incest merupakan perbuatan terlarang bagi hampir setiap lingkungan budaya.
Freud (1913) berkesimpulan bahwa dasar taboo incest adalah, apabila incest dibenarkan maka akan terjadi persaingan, antara ayah – ibu – saudara-saudara. Jelas persaingan/perebutan semacam itu akan membawa kehancuran keluarga/clan/suku bangsa sendiri. Freud kemudian menambahkan bahwa disposisi psikis yang dibawa sejak lahir akan tetap efektif apabila mendapat persaingan tertentu dari pada proses percampuran darah antara individu yang tidak ada kaitan darahnya. Dan tidak ada satu generasipun yang akan mampu mempertahankan disposisi psikis dan positif dalam garis keturunan yang sama.
Kecuali itu, ketakutan castrasi pada phase phallic menghambat pelampiasan fantasi incest seorang anak laki-laki terhadap ibunya sendiri.
Fakta biologis juga memperkuat taboo incest, karena kematian, retardasi mental, dan kelainan congenital sangat banyak terjadi sebagai akibat incest.
Walaupun demikian terdapat beberapa factor yang memungkinkan terlanggarnya taboo incest.
Lustig, menyatakan bahwa terdapat lima kondisi gangguan keluarga yang memungkinkan terlanggarnya taboo incest, yaitu :
1). Keadaan terjepit, di mana anak perempuan menjadi figure perempuan utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu.
2). Kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya.
3). Ketidak mampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah karena kebutuhan untuk mempertahankan façade kestabilan sifat patriachatnya.
4). Ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa anggota keluarga untuk lebih memilih desintegrasi struktur keluarga daripada pecah sama sekali.
5). Sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri.
Factor kondisi social yang sering memungkinkan pelanggaran taboo incest adalah, rumah yang sempit dengan penghuni yang berdesakan, alcoholism isolasi geografis (sehingga sulit mencari hubungan dengan clan keluarga lain).
Incest ayah – anak perempuan akan terjadi bila ayah terlalu lama meninggalkan keluarga dan ketika kembali menemukan isterinya sudah tua dantidak menarik lagi, sedangkan putrinyaberangkat dewasa dan menarik. Juga sering terjadi pada peristiwa perceraian di mana anak perempuan tinggal bersama ayah saja. Keadaan ini memudahkan kita untuk memahami berita-berita mengenai incest ayah – anak perempuan di Koran-koran dewasa ini.
Bagaimana halnya dengan pihak anak perempuan pada incest ayah - anak perempuan ?
Biasanya anak perempuan yang melakukan inisiatif mula pada incest tersebut, adalah anak perempuan yang kesepian, ibunya tidak memperhatikan mereka karena memiliki minat lain di luar rumah.
Dan anak ini menghayati incest dengan ayah sebagai pemenuhan kebutuhan kasih sayang dan perhatian orang tua. Anak perempuan ini biasnaya memiliki kepribadian yang pseudo maturitas, dan perkembangan ego remaja terganggu, anak ini cenderung berkembang ke arah kepribadian psikopatis, dan setelah terjadi incest, ia akan terjerumus dalam perilaku promiscuity, tingkah laku anti sosial, frigiditas, homoseksualitas, depresi dan ketidak mampuan belajar.
Sibling incest (antar saudara) sering terjadi pada keluarga yang banyak anak, dan hidup berdesakan dalam ruang yang sempit, kurang perhatian orang tua karena kesibukannya.
Kasus III : Seorang anak perempuan (21 tahun) dari sepuluh bersaudara, merasa bingung atas tuntutan orang tua untuk menikah, karena sejak ia berumur 13 tahun telah melakukan incest dengan kakak laki-lakinya yang berusia 3 tahun lebih tua dari padanya, di luar sepengetahuan orang tua mereka. Menurut kakak laki-lakinya, ia mulai tertarik pada adiknya sejak ia berusia 14 tahun. Pada saat itu ia melihat adiknya tertidur dengan pakaian tersingkap. Timbullah birahinya sehingga ia mulai menggerayangi adiknya.
Perilaku ini telah berulangkali dilakukan terhadap adiknya, tanpa setahu adiknya, karena apabila si adik sudah tertidur lelap sekali.
Ketika adiknya berumur 15 tahun, ia sempat terbangun, saat kakaknya memulai perilaku incestnya; adiknya tidak marah bahkan memberi respon yang menyenangkan sehingga terjadilah coitus sempurna. Untungnya hingga saat ini tidak pernah terjadi kehamilan.
Persoalan bagi adiknya saat ini ialah bahwa ia tidak berani mencoba berpacaran dengan pria temannya karena merasa tidak suci lagi – tetapi pada pihak lain orang tua sangat menuntut agar ia memilih salah satu pria yang mendekatinya dan segera melangsungkan pernikahan. Untuk menceritakan keadaannya secara terus terang pada orang tua ia tidak berani. Tetapi sementara ini incest dengan kakak masih dilakukan dan ia merasakan kenikmatan, bahkan apabila kakaknya lama tidak mendekati ia merasa membutuhkan reaksi incest tersebut.
Sebetulnya prepubertal incest merupakan variasi yang normal dalam perkembangan heteroseksual, tetapi apabila perilaku incest ini berlarut-larut dan melampaui transisi phase perkembangan maka kejadian ini erat kaitannya dengan perkembangan psikopathologi yang cukup serius.
Anak perempuan pada kasus tersebut ternyata memiliki kepribadian yang neurotic dan depresif, sedang kakaknya memiliki kecenderungan kepribadian anti sosial, ia juga adalah seorang pecandu ganja/obat-obatan dan tingkah lakunya sangat impulsive.
Incest antara ibu – anak laki-laki relatif jarang terjadi, mengingat sanksi sosial/budaya terhadap incest ibu – anak laki-laki tampak lebih berat dan pada umumnya sangat dilarang oleh setiap lingkungan budaya.
c. HYPER SEKSUALITAS
Bahaya yang datang daripara hyper seksualitas (yaitu Satyriasis pada laki-laki, dan Nymphomania pada perempuan) terhadap keselamatan anak-anakpun tidak sedikit.
Para satyriasis dan nymphomaniac ini ditandai oleh keterpakuan (preoccupation) terhadap keinginan coitus yang eksessif dan constant. Pada umumnya keinginan coitusnya delapan kali lebih banyak dari pada orang normal.
Keadaan ini membuat mereka sering tidak pandang bulu dalam usaha mendapatkan pasangan seksualnya. Sering anak-anak di bawah umur pun dijadikan obyek dorongan coitus yang tidak pernah padam.
Penyebab psikologis daripada keadaan ini adalah :
1). pelarian terhadap konflik yang bersumber pada konflik oedipal yang tidak teratasi.
2). kebutuhan untuk membuktikan derajat maskulinitas/feminitas.
3). kebutuhan untuk mendapatkan kasih sayang dan hubungan yang intim.
Usaha untuk mencapai kesemua tuntutan/kebutuhan tersebut, tanpa segan-segan mendorong hypersex tersebut untuk melakukan perkosaan baik terhadap orang dewasa maupun anak-anak.
Kewaspadaan kita terhadap perlindungan terutama terhadap anak-anak dari bahaya perkosaan ini, sangat menentukan masa depan kesejahteraan jiwa anak-anak kita.
Tidak dapat disangkal lagi akan efek trauma psikis yang akan dihadapi dan harus diatasi oleh anak-anak tersebut, untuk itu sudah jelas kiranya bahwa prevensi jauh lebih baik daripada kurasi.
d. KETERBATASAN KESEMPATAN (ISOLATED GEOGRAFIS) DAN KETERBATASAN KEMAMPUAN SOSIAL EKONOMIS
Kita tidak dapat menutup mata dari kenyataan akan banyaknya keluarga di Negara kita yang hidup dengan taraf di bawah garis kemiskinan.
Sedemikian terbatasnya kemampuan untuk mempertahankan hidup sehingga sering para orang tua memaksa anak-anak yang sebetulnya masih dalam usia sekolah, untuk bekerja mencari nafkahnya.
Kita juga tidak dapat menutup mata akan kenyataan banyaknya industri yang mempergunakan banyak buruh di bawah umur, walaupun Undang-Undang Perburuhan mencantumkan pelarangan penggunaan buruh di bawah umur. Kenyataan ini membentuk satu siklus mata rantai yang tidak berujung-pangkal antara kebutuhan tenaga buruh dengan penawaran tenaga buruh murah.
Anak yang terpaksa mencari nafkahnya sendiri sudah cukup puas dengan upah sedikit asal ia dapat makan.
Karena sifat pekerjaannya sering pula mereka tidak dapat pulang kerumahnya dan terpaksa menginap di tempat kerja.
Situasi lingkungan tempat menginap yang kurang memenuhi syarat ketenangan dan privacy serta bercampur antara anak laki/perempuan mendorong kearah perilaku seksual yang tidak diinginkan.
Dengan sekedar rayuan dan tambahan uang jajan, buruh perempuan di bawah umur tersebut bersedia menjadi obyek pelampiasan hasrat seksual dari para buruh prianya yang menjelang dewasa maupun yang sudah mencapai usia dewasa.
Kiranya dapat kita simpulkan bahwa :
- Keterbatasan taraf sosial ekonomi, sehingga kemungkinan untuk mendapatkan pasangan seksual yang dewasapun terbatas, sedang pada pihak lain, pelampiasan hasrat seksual telah didapatkan dengan hanya mengeluarkan sedikit uang saja.
- Rendahnya standard moral dalam lingkungan tersebut.
- Keterbatasan geografis, karena biasanya pabrik-pabrik, industri-industri tertentu terletak jauh dari pusat keramaian kota, sehingga perilaku seksual antar sesama buruh menjadi salah satu kegiatan rekreatif setelah sehari penat bekerja.
Keadaan memprihatinkan kita, adalah justru bahwa perilaku tersebut melibatkan buruh-buruh di bawah umur.
Kecuali itu sebagai ekses yang tidak kita harapkan adalah timbulnya persaingan penampilan fisik di antara buruh perempuan di bawah umur, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan uang jajan tambahan, apabila ia menjadi favorit dalam lingkungan pabrik tersebut.
Secara tidak disadari situasi ini mendidik kearah perilaku prostitusi sehingga standard moralpun secara otomatis menjadi semakin menurun.
2. UNTUK TUJUAN SEBAGAI PENCARI NAFKAH KELUARGA
a. Pada uraian di atas (butir 1.d.), orang tua menyuruh anaknya bekerja di pabrik/industri untuk membantu mencari nafkah keluarga tetapi iklim psikoseksual pada lingkungan pekerjaanlah yang menjerumuskan mereka untuk melakukan perilaku seksual. Jadi sifat perilaku seksual tersebut adalah ekses daripada iklim psikoseksual yang terbina/tercipta dalam lingkungan pekerjaan.
Sedang pada butir 2.a, ini justru orang tualah yang sengaja menyerahkan anak perempuannya untuk mencari nafkah melalui kegiatan prostitusi. Tentu saja presentasi dari kelompok ini relatif paling kecil, walaupun demikian tidak dapat diabaikan. Dasar utama dari keadaan ini ialah rendahnya standard moral keluarga dan juga rendahnya taraf kehidupan sosial ekonomis keluarga.
b. sebagai korban ulah para Germo.
Percepatan modernisasi sebagai akibat perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sedikit demi sedikit tetapi pasti melanda kehidupan masyarakat desa.
Konsekuensi logis adalah peningkatan arus urbanisasi, karena kota memiliki daya tarik yang kuat bagi pemuda/pemudi desa.
Pola konsumtif secara perlahan tapi pasti melanda masyarakat desa. Gadis-gadis desa ingin berpakaian bagus seperti gadis yang mereka lihat pada siaran Televisi. Iklan-iklan yang masuk desa. Mereka menjadi tergiur untuk mencari pekerjaan di kota, dengan harapan kehidupan yang lebih menarik dan lebih baik.
Situasi ini dimanfaatkan oleh para Germo. Gadis desa yang masih berada di antara umur menjelang remaja-remaja dibujuk untuk pergi ke kota dengan janji yang muluk akan pekerjaan dengan gaji yang tinggi. Sesampainya mereka di kota, mereka diberi pakaian dan didandani, untuk kemudian dipaksa melayani para hidung belang. Mereka dalam keadaan terjepit dan tidak berdaya sehingga terpaksa menuruti perintah Germo itu.
Usaha untuk memanfaatkan mereka sering tidak disertai sarana kesehatan yang memadai, dan apabila mereka sakit dan tidak mampu lagi melayani tamu, mereka akan dicampakkan begitu saja.
3. UNTUK TUJUAN AVONTURIR SEKSUAL
Aventurir seksual, disebut pula dengan istilah Sexual Delinquency. Ini adalah perilaku seksual yang promicuous. Iklim relasi promiscuous sangat bergantung pada penyebab serta dinamika dasar dari perilakunya sendiri.
Walaupun demikian, pada umumnya sifat relasinya dangkal, sepintas lalu dengan tujuan akhir hanyalah terjadinya coitus.
Ada 3 faktor utama yang dapat dinyatakan sebagai penyebab sexual delinquency yaitu :
a. Gangguan relasi kekeluargaan yang berkisar pada masalah penolakan (rejection). Anak-anak dari keluarga macam ini merasa dirinya ditolak, tidak diinginkan dan kesepian.
Pada umumnya mereka berasal dari Broken home, rumah yatim piatu yang tidak membahagiakan serta yang kurang memberikan perhatian dan kasih sayang. Pengalaman romantis yang didapatkan dari seorang pria pada suatu saat akan memberikan arti yang sangat mendalam pada diri anak perempuan, sehingga sering dapat mengisi kekosongan perasaan sebagai orang yang diinginkan, diharapkan dan dikasihi. Pada saat itu ia merasakan dirinya berarti, diperhatikan dan dicintai. Perasaan yang menyenangkan ini, akan mendorongnya untuk terbiasa melakukan relasi promicous dengan pria-pria lain.
Karena kebutuhan utama bagi dirinya adalah kehangatan emosional yang dicapainya pada saat terciptanya relasi tersebut.
b. Gangguan relasi keluarga yang bekisar pada masalah kekakuan aturan yang ekstreem yang mengakibatkan repressi yang ekstreem pula terhadap dorongan naluriah anak.
Banyak anak perempuan yang melakukan kegiatan seksual delinquant berasal dari latar belakang keluarga yang menganut aturan yang ketat dan kaku terhadap masalah seksual dan masalah pacaran.
Sebagai akibatnya, justru si anak melakukan dengan sengaja kegiatan promiscuous sebagai cara untuk melawan ortoritas yang ketat tersebut.
c. Sexual delinquence, sebagai bagian daripada kondisi psikopati yang berat.
Pada kedua butir terdahulu, perilaku promiscuous dilakukan sebagai usaha mengatasi kecemasan (anxiety) dan frustasi yang secara primair disebabkan oleh gangguan relasi kekeluargaan.
Hampir separuh dari jumlah remaja yang melakukan/terlibat dalam kegiatan promiscuous ini berasal dari keluarga yang pola relasinya maladjusted, remaja yang mengalami defisiensi mental, emosinya tidak matang, alcoholism, drug addict, yang memiliki kepribadian anti sosial dan hambatan moral yang sangat rendah, sehubungan dengan keadaan psikotis.
Walaupun relasi promiscuous ini pada mulanya didasari oleh hanya kebutuhan untuk mendapatkan kehangatan emosional di luar rumah, tetapi akhirnya sering berkembang menuju kegiatan prostitusi yang profesional dan komersial.
Di samping penurunan standard moral dari kehidupan remaja promiscuous berjangkitnya penyakit kelamin dikalangan remaja inipun akan meningkat.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual terhadap anak (sexual abuse) memiliki karakteristik dasar yang berbeda. Perbedaan karakteristik ini dikelompokkan berdasar pada etiologi dan dinamika psikis daripada pelakunya serta situasi lingkungan social tertentu yang memungkinkan perkembangannya.
Adapun dalih yang diutarakan untuk membenarkan perilaku tersebut, maka setiap perilaku seksual yang melibatkan individu di bawah umur adalah perilaku yang menyimpang (deviasi).
Terlepas dari pada aneka dinamika etiologisnya maka sexual abuse adalah masalah yang cukup serius dan sangat membutuhkan usaha penanganan multidisiplinair yang serius pula demi kesinambungan bangsa dan Negara yang sehat dan sejahtera.
Pendekatan hendaknya dilakukan dengan melibatkan antara lain disiplin-disiplin ilmu :
a. Mental Hygiene
b. Psikologi Sosial
c. Kesejahteraan Sosial
d. Medis
Sekian.
K E P U S T A K A A N
1). Coleman, James, C, Abnormal Psychology and Modern Life. Scott, Foreman and Company, N.Y., 1950.
2). Connor, John F, M.D., Managing sexual dysfunction, a basic guide medical economics company, Book Division, New Jersey 07469, 1980.
3). Kentsmith, David K, M.D. and Eaton Jr, Merill, M.D., F.A.P.A. Treating sexual problems in medical practice, Arco Publishing, Inc., N.Y., 1979.
4). Semmens, James, P., M.D. and Krantz, Kermit E, M.D., The adolescent experience. A counceling guide to social and sexual behavior. The mac millan company, London, 1970.
5). Sadock, Benyamin J, M.D., Kaplan, Harold I.M.D. and Fredman Alfred M, M.D., The sexual experience, The Williams & Wilkins Company, Baltimore, 1976.
6). Catatan pribadi dari Praktek Pribadi, hasil observasi dan wawancara serta beberapa kasus peradilan pelanggaran susila dari Pengadilan Negeri Tingkat I Bandung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar