perkawinan di bawah umur

on Rabu, 10 Juni 2009

PERKAWINAN DIBAWAH UMUR

Dra. Hera Lestari
F. Psikologi U.I.

Untuk disampaikan pada Seminar Nasional Penelantaran dan Perlakuan Salah Terhadap Anak

PENGANTAR
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah “Ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengant ujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara dua orang manusia yang mungkin berasal dari latar belakang kebudayaaan, tradisi, kepribadian dan kebisaaan yang berbeda. Adanya ikatan perkawinan tidak dengan sendirinya akan merubah kepribadian dan kebisaaan dasar yang telah dikembangkan dan dimiliki oleh seseorang sebelumnya.
Dikatakan bahwa suatu perkawinan yang bahagia bukanlah suatu “hadiah” yang datang dari surga; perkawinan yang bahagia merupakan suatu prestasi, hasil kerja keras dari kedua orang yang terlibat dalam ikatan perkawinan tersebut. Karena dalam perkawinan orang membawa kepribadian dan kebisaaannya masing-masing, maka diperlukan penyesuaian diri dari kedua pihak suami istri agar perkawinan itu dapat berjalan dengan baik. Karena itu juga perkawinan dapat dilihat sebagai suatu interaksi antara suami istri, suatu dialog yang berlangsung terus menerus.
Supaya perkawinan bisa sukses, banyak transisi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh kedua pasangan dalam perkawinan tersebut. Pada dasarnya transisi-transisi itu adalah perubahan diri dari sifat “self centered” yang biasanya merupakan ciri anak-anak ke sifat “other centered” yang menjadi ciri orang dewasa.
Kalau salah satu atau kedua pasangan tidak dapat melakukan transisi ini, maka ada kemungkinan bahwa perkawinan itu akan mengalami kegagalan. Di atas telah dikatatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia. Salah satu fungsi penting dari perkawinan adalah memberikan kepuasan emosional pada anggota dalam perkawinan itu, membantu mereka dalam menghadapi krisis, dan memberikan kesempatan pada masing-masing pasangan untuk berkembang bersama dalam cara-cara yang paling optimal. Secara idealnya perkawinan diharapkan bisa berfungsi sebagai suatu “pelabuhan”, di mana individu dapat memperoleh perasaan aman (baik fisik maupun psikologis) serta dukungan moral/support dari pasangannya.

PENGERTIAN MENGENAI PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
Beberapa pertimbangan :
- Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 (pasal 1 butir 2) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
- Undang-Undang pokok No. 1 tahun 1974 menetapkan bahwa usia kawin minimal bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.
- Dalam pasal 1 Undang-Undang Kerja tahun 1948 dinyatakan :
• anak, ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 14 tahun ke bawah.
• orang muda, ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur di atas 14 tahun, akan etapi di bawah 18 tahun.
• Orang dewasa, ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun ke atas.
- Bogue (1956) mencoba mengelompokkan umur perkawinan menjadi 4 kategori, yaitu:
• kawin pada umur yang kurang dari 18 tahun disebut kawin anak-anak
• kawin antara umur 18 – 21 tahun disebut kawin dewasa
• kawin terlambat, bila umur wanita 22 tahun ke atas.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal yang telah disebutkan di atas, pertanyaan yang masih harus dijawab adalah siapa atau apakah yang disebut dibawah umur itu ?
Istilah di bawah umur memang bersifat relative, karena tidak memberikan batasan atau patokan usia tertentu. Apakah dengan di bawah umur dimaksudkan di bawah usia 16 bagi wanita dan 19 bagi pria, seperti yang dikatakan dalam Undang-Undang perkawinan ? Ataukah di bawah umur berarti anak (berusia di bawah usia 21 tahun), seperti yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 ?
Hurlock membagi siklus kehidupan manusia menjadi beberapa tahap, yaitu:
1. masa bayi, usia antara 0 – 2 tahun;
2. masa anak, meliputi: a. masa anak prasekolah usia 2 – 6 tahun
b. masa anak sekolah usia 6 – 12 tahun
3. masa pubertas, antara 11/12 – 15/16 tahun (ada tumpang tindih antara akhir masa anak dan permulaan masa remaja)
4. masa remaja, antara 13/14 – 18 tahun;
5. masa dewasa
6. masa usia lanjut
Usia 18 tahun menurut Hurlock adalah batas usia di mana seseorang di Amerika dianggap sudah dewasa menurut Undang-Undang. Sedangkan Undang-Undang kita menetapkan bahwa anak adalah seseorang yang berumur di bawah 21 tahun dan belum kawin.
Penelitian-penelitian di dunia dan juga di Indonesia menunjukkan bahwa usia antara 20 – 30 tahun merupakan usia yang sebaik-baiknya bagi wanita untuk menikah dan hamil, dilihat dari sudut kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Kehamilan di bawah usia 20 tahun dan pada usia di atas 30 tahun sama mempunyai resiko tinggi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas perkawinan di bawah umur dalam makalah ini akan dibatasi sebagai perkawinan yang terjadi sebelum atau dalam masa remaja. Masa remaja di sini adalah masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, yang menurut Hurlock adalah antara 13 – 18 tahun, sedangkan W.H.O. Expert Committee menyebutkan antara 13 – 20 tahun.

REMAJA DAN CIRI-CIRINYA
Hasil sensus penduduk Indonesia tahun 1971 memperlihatkan bahwa sekitar 65 persen dari penduduk Indonesia yang berumur di atas 20 tahun telah pernah kawin. Hasil survai lain yang dilakukan pada tahun 1973 menyatakan bahwa 50 persen dari perkawinan tersebut adalah perkawinan pada usia muda, yang untuk wanita ditandai dengan umur 18 tahun ke bawah.
Jadi kurang lebih separuh dari perkawinan pertama yang terjadi di Indonesia adalah perkawinan remaja, yang dilakukan ketika anak berada dalam fase transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Dalam masa transisi ini, remaja tidak lagi bisa dianggap seorang anak, akan tetapi juga belum cukup matang untuk digolongkan sebagai orang dewasa.
Ada beberapa tugas perkembangan yang harus dicapai oleh remaja selama masa transisi ini supaya ia bisa mencapai kedewasaannya :
1. mengembangkan identitas dirinya, yaitu siapa dan apa saya, serta membentuk peran social yang sesuai sebagai wanita atau pria
2. melepaskan diri dari ketergantungan emosional pada orang dewasa lainnya
3. mengembangkan pola-pola hubungan baru dengan teman-teman dari kedua jenis kelamin
4. menyiapkan diri untuk suatu pekerjaan, dan berusaha mencapai kebebasan finansiil dari orang tua.
5. membentuk tingkah laku social yang bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat.
6. menyiapkan diri untuk hidup perkawinan dan keluarga.
Selain transisi yang dijelaskan dalam tugas-tugas perkembangan seperti telah disebutkan di atas, ada satu hal penting lain yang terjadi pada masa remaja, yaitu transisi keseksualitas dewasa atau heteroseksualitas. Peralihan ke heteroseksualitas tidak saja terjadi melalui perubahan-perubahan fisik yang dialami selama masa pubertas, tetapi juga dengan perubahan sikap, minat dan pola-pola tingkah laku lainnya.
Dorongan-dorongan seksual pada masa remaja dipengaruhi oleh kondisi atau aktivitas kelenjar-kelenjar badan yang memang smeakin meningkat. Akan tetapi faktor-faktor social akan menentukan bagaimana dorongan atau perasaan seksual itu akan diekspresikan. Dorongan seksual yang semakin meningkat ditambah dengan rangsang-rangsang luar berupa gambar atau film, dan sebagainya, sering menimbulkan keinginan pada remaja untuk bereksperimen atau mencoba sendiri dalam hubungan heteroseksual ini. Dan hal-hal seperti ini yang sering menimbulkan kejadian-kejadian yang tak diinginkan.

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN FAKTOR PENYEBABNYA
Kingsley Davis (1956) mengatakan bahwa umur perkawinan biasanya muda di Negara yang system perekonomiannya agraris. Sedangkan Goode (1969) menunjukkan dari hasil penelitian di Negara Islam Asia maupun Afrika, bahwa tradisi di Negara-negara tersebut memperbolehkan seorang gadis melangsungkan perkawinan kalau sudah mencapai akil baliq. Pada dasanrya akil baliq dalam Islam bagi anak perempuan adalah setelah menstruasi pertama, dan usia dimana seorang anak perempuan mendapat menstruasi pertama bisa bervariasi, umumnya antara 9 – 17 tahun.
Hurlock menyebutkan bahwa perkawinan remaja biasanya terjadi karena telah terjadinya kehamilan pada si remaja putri.
Indonesia dengan aneka ragam suku bangsa dan kebudayaannya, secara garis besar mempunyai dua macam lingkungan hidup, yaitu daerah kota/urban dan daerah pedesaan atau rural. Perkawinan di bawah umur yang terjadi di kedua daerah itu mungkin mempunyai sebab yang berbeda, akan tetapi secara umum dapat disebutkan beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan di bawah umur tersebut.
1. Tradisi
Pada umumnya peranan tradisi masih sangat kuat dalam menentukan perkawinan pada anggota-anggota masyarakat di daerah pedesaan. Masyarakat tradisional pada umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. perkawinan pertama terjadi pada usia muda,
b. keputusan mengenai perkawinan ditentukan oleh orang tua/keluarga
c. tekanan social untuk wanita yang belum menikah pada usia tertentu, karena akan dianggap perawan tua dan tidak laku.
Dalam tulisannya mengenai Pola Perkawinan Adat Banjar di Kalimantan Selatan, Mahfudz mengatakan bahwa alsan kawin muda pada masyarakat Kalimantan Selatan adalah: di desa, jika seorang gadis tidak kawin pada usia 17 tahun, maka ia disebut “bujang tua” atau gadis tua. Akibatnya banyak yang kawin pada usia 15 atau 16 tahun juga banyak pada usia 13 dan 14 tahun.
Kuatnya peranan orang tua dalam mengatur perkawinan muda juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Singarimbun dan Manning (1974) dan Diana Chapon (19760 di desa Mojolama dan Srihardjo.

2. Keadaan Sosial Ekonomi
Banyak anak gadis kecil yang sudah dikawinkan oleh orang tuanya, karena dengan cara ini si anak bukan lagi menjadi tanggungan mereka dan hal ini bisa meringankan beban orang tua. Dihubungkan dengan struktur masyarakat Indonesia yang sebagian terbesar tinggal di desa dan kebanyakan hidup dari bertani dengan penghasilan rendah, maka perkawinan di bawah umur karena alasan keadaan social ekonomi diperkirakan kebanyakan terdapat pada masyarakat desa yang miskin.

3. Pendidikan/Sekolah terputus
Alasan putus sekolah mungkin sekali berhubungan erat dengan faktor ekonomi atau faktor social lainnya. Karena anak (terutama anak perempuan) sudah tidak bersekolah lagi, maka orang tua cenderung untuk cepat-cepat mengawinkan anaknya. Apalagi karena pada orang tua sering ada kekhawatiran, anaknya yang sudah tidak bersekolah akan terjerumus ke hal-hal yang tidak baik (misalnya melakukan zina, hamil sebelum kawin). Untuk mencegah terjadinya hal-hal tersebut, maka anak secepat mungkin dikawinkan.
Adanya hubungan antar pendidikan dan umur perkawinan telah terbukti baik di Negara yang masih berkembang maupun di Negara berkembang. Di Indonesia, wanita-wanita yang pernah kawin dan berpendidikan SD ke bawah (termasuk yang tidak pernah sekolah), hampir 60 persen melangsungkan perkawinan pertamanya sebelum usia 16 tahun. Sedangkan untuk kelompok wanita yang berpendidikan Sekolah Menengah ke atas, hanya 14 persen kawin sebelum umur 16 tahun. Dan 75 persen dari wanita dalam golongan ini kawin setelah usia 18 tahun. Dibandingkan dengan pulau-pulau lain, pulau Jawa ternyata masih lebih unggul dalam banyaknya perkawinan di bawah umur (kurang dari 16 tahun) untuk kelompok wanita yang berpendidikan SD ke bawah.
Pendidikan mempengaruhi umur perkawinan, karena pendidikan merupakan suatu alternative. Seorang gadis yang akan dikawinkan oleh orang tuanya dapat meminta penundaan perkawinan, dengan alasan ingin menyelesaikan sekolahnya. Sedangkan gadis yang sudah tidak bersekolah, tidak bisa memakai alasan ini.

4. Pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang juga mempengaruhi usia kawin pertama. Orang yang bekerja mengurus rumah tangga rata-rata kawin pada usia 17.60 tahun, sedangkan untuk orang yang bersekolah usia kawin rata-rata adalah 12.12 dan orang yang bekerja berpenghasilan (income recipient) rata-rata kawin pada usia 22.21 tahun.

5. Agama dan Kewajiban Moral
Dalam agama Islam, nikah itu disyaratkan dan oleh sebagian pemeluknya dianggap sesuatu hal yang harus disegerakan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu kewajiban orang tua adalah memelihara anaknya dari kecil sampai dikawinkan. Kalau anak sudah kawin dan orang tua sendiri menyaksikan perkawinan si anak, maka kewajiban orang tua sudah selesai.

6. Kehamilan sebelum perkawinan
Kemajuan teknologi dan pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat juga memberikan dampaknya pada kehidupan remaja. Suasana hidup yang lebih permisif, dengan pergaulan yang lebih bebas antara wanita dan pria, serta norma mengenai pergaulan seksual yang sudah lebih longgar, mudah menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Kehamilan sebelum perkawinan seringkali terjadi di luar rencana dan dianggap sebagai suatu “kecelakaan”. Dan kecelakaan ini harus segera ditanggulangi, karena menyangkut nama baik orang tua atau keluarga kedua pihak. Perkawinan merupakan salah satu jalan keluar yang umumnya dipilih oleh keluarga, walaupun kedua pihak menyadari bahwa si remaja belum siap/sanggup untuk berkeluarga.

7. Undang-Undang dan pelaksanaanya
Walaupun Undang-Undang perkawinan minimal untuk wanita adalah 16 tahun dan bagi pria 19 tahun, akan tetapi hasil penelitian atau survai menunjukkan banyaknya wanita yang kawin pada sebelum umur 16 tahun. Kejadian ini menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur belum dapat dicegah sepenuhnya, mungkin karena banyaknya anak yang tidak mempunyai surat lahir dan adanya dispensasi yang dapat disalah gunakan.
Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang perkawinan mengatur kemungkinan dispensasi ini, yang dapat diminta oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita kepada Pengadilan atau Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk.

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN IMPLIKASINYA
Perkawinan di bawah umur sebagian besar terjadi sebelum usia 18 tahun, ketika anak masih berada dalam masa remaja. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, masa remaja adalah masa dimana seseorang mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan perkawinan dan keluarga. Kehidupan perkawinan dan keluarga menuntut adanya sikap dan kematangan social dan emosional, baik dari si calon ibu maupun ayah. Ada beberapa hal yang menyebabkan perkawinan di bawah umur itu mengandung resiko tinggi:
1. Pola kepribadian: orang yang kawin muda sering kali secara psikologis belum siap untuk kawin. Mereka belum memiliki kematangan emosional dan social yang diperlukan untuk memikul beban dan tanggung jawab perkawinan.
2. Idealisme dan romantisme: anak remaja sering mempunyai konsep perkawinan yang demikian romantis dan tidak realistis, sehingga mereka cepat merasa kecewa kalau apa yang dialaminya tidak sesuai dengan apa yang dibayangkannya.
3. masalah keuangan : pasangan muda itu belum siap dibidang keuangan, dan terpaksa harus tergantung secara finansiil pada orang tua.
4. masalah social : anak remaja yang sudah kawin seringkali merasa dirinya terisolasi dari kelompok teman-temannya dulu. Untuk menyesuaikan diri dengan keterasingan social itu bukanlah tugas yang mudah bagi si remaja.
5. terputus sekolah: kalau si remaja yang sudah kawin terpaksa berhenti sekolah, maka ia harus “banting setir” dan merubah cita-citanya. Perasaan kecewa yang dirasakannya dapat mengancam kebahagiaan perkawinan.
Walaupun perkawinan muda itu mempunyai risiko tinggi, akan tetapi tidak semua perkawinan tersebut ditakdirkan akan mengalami kegagalan. Banyak pasangan muda yang berhasil membina kehidupan perkawinan yang bahagia. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan perkawinan itu adalah :
- adanya persetujuan dan dorongan dari orang tua
- tidak adanya kesulitan keuangan yang serius
hal ini terjadi karena pasangan tersebut bisa mencari uang yang cukup, atau orang tua membantu dengan sukarela.
- Kawin muda memang dilakukan dengan kesadaran dan keinginan untuk mempunyai anak, serta merawat mereka sebelum pasangan itu menjadi terlalu tua.
- perkawinan dilakukan bukan dengan terpaksa karena si gadis telah hamil
- adanya pengertian mengenai realitas dan arti sebenarnya dari perkawinan dan menjadi orang tua.
Masa remaja adalah masa dimana anak masih harus menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perkembangan pribadinya. Kalau mereka sudah kawin pada saat itu, maka tugas-tugas perkembangan yang harus mereka lakukan akan menjadi lebih berat, karena mereka sekaligus juga harus melaksanakan tanggung jawab perkawinan. Implikasi atau risiko dari perkawinan di bawah umur pada umumnya adalah :
1. Tingginya angka perceraian
Kawin muda merupakan salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya angka perceraian. Penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak perkawinan yang tidak bahagia dan perceraian diantara orang (baik laki-laki maupun wanita) yang kawin di bawah umur 20 tahun dari pada orang yang kawin kemudian. Menurut Christensen dari Purdue University, perkawinan dengan angka perceraian tertinggi mempunyai 3 ciri :
- kawin pada usia sangat muda, biasanya pada usia belasan tahun
- perkawinan dengan kehamilan sebelum perkawinan
- kawin dan kehamilan pertama terjadi segera setelah perkawinan
Di Indonesia, dari kelompok wanita yang pernah kawin dan berusai diantara 15 – 19 tahun, 24 persen dari perkawinan pertama berakhir dengan perceraian, dengan perbandingan 17,8 persen untuk daerah urban dan 25,3 persen untuk daerah pedesaan. Lebih tingginya angka perceraian di daerah pedesaan juga terlihat hampir secara merata di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Semakin muda usia pada perkawinan pertama, semakin tinggi resiko kemungkinan perkawinan itu berakhir dengan perceraian. Hal ini berhubungan erat dengan belum adanya kesiapan psikologis untuk memasuki perkawinan yang bertanggung jawab.

2. Bertambah panjangnya masa fertilitas dan jumlah anak yang dilahirkan
Ahli-ahli kesehatan menganjurkan usia diantara 20 sampai 30 tahun sebagai masa reproduksi sehat. Seorang wanita yang kawin sebelum umur 20 tahun, mempunyai kemungkinan untuk lebih sering mengandung dari pada wanita yang kawin setelah usia 20 tahun. Hasil International Fertility Study 1976 di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa wanita yang kawin sebelum umur 13 tahun, mempunyai anak dua kali lebih banyak dari wanita yang kawin pada umur 25 tahun lebih. Tingginya jumlah kelahiran seperti pertambahan penduduk yang cepat, dan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, akan menghambat peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.

3. Tingginya kematian ibu dan anak
Perkawinan tidaklah selalu identik dengan terjadinya kehamilan, akan tetapi kehamilan yang terjadi pada wanita remaja digolongkan sebagai kehamilan dengan resiko tinggi, seperti juga kehamilan yang terjadi pada setelah usia 30 tahun. Wanita yang hamil pada usia remaja mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mendapat komplikasi selama kehamilan dan mengalami persalinan yang sukar, dibandingkan dengan kehamilan pada usia 20–30 tahun. Banyak persalinan dari wanita remaja yang harus diselesaikan dengan persalinan buatan. Belum matangnya fungsi-fungsi fisiologis badan, kurang baiknya keadaan kesehatan/gizi, serta kurang memadainya pemakaian fasilitas perawatan prenatal, merupakan beberapa alasan yang mendukung komplikasi persalinan pada wanita remaja. Angka kematian ibu di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 5–7 perseribu kelahiran hidup. Aborsi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dengan cara-cara yang tak dapat dipertanggung jawabkan dari sudut kesehatan, juga menjadi salah satu penyebab dari tingginya kematian pada wanita muda yang hamil.
Risiko pada bayi yang dilahirkan oleh ibu muda usia adalah prematuritas atau berat badan lahir rendah, serta kematian. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia mempunyai angka kematian bayi yang tinggi, yaitu + 100 perseribu kelahiran hidup. Dibandingkan dengan angka kematian bayi di Malaysia (35 perseribu kelahiran), angka kematian di negara kita masih terlalu tinggi.

4. Anak cacat bermasalah dan broken home
Komplikasi kehamilan serta proses kelahiran yang sulit mungkin mengakibatkan lahirnya bayi yang cacat, baik yang merupakan cacat bawaan ataupun yang diperoleh setelah kelahiran. Selain itu perkawinan remaja juga banyak yang berakhir dengan perceraian. Kalau perceraian terjadi setelah anak-anak lahir, maka akibat lain yang dialami anak adalah broken home, dengan segala akibat-akibatnya. Ibu muda yang belum matang secara emosional dan sosial, dengan pendidikan dan ketrampilan yang jauh dari cukup untuk bisa menghidupi keluarga, pada akhirnya akan terjerat dalam lingkaran masalah (social, ekonomi, edukatif) yang tak berujung pangkal.
Anak-anak yang merupakan produk dari perkawinan tersebut tidak mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang seharusnya mereka peroleh dari orang tua, dan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mudah terkena oleh keadaan lingkungan sekitar yang kurang baik.

5. Peningkatan peran wanita sertapk ekonomi masyarakat terhambat
Perkawinan yang terjadi pada usia muda sekali akan mengurangi kesempatan si remaja untuk mengembangkan diri seoptimalnya. Kehamilan yang biasanya menyusul perkawinan itu akan menghambat si remaja putri untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, serta kesempatan untuk mempunyai karir atau pekerjaan yang memadai.
80 persen dari rakyat Indonesia tinggal di pedesaan, dan justru di pedesaan inilah didapatkan angka perkawinan di bawah umur yang tinggi. Wanita maupun pria yang terlibat dalam perkawinan muda ini kemungkinan akan sukar meningkatkan taraf hidup mereka, karena kurangnya pengetahuan serta ketrampilan. Apalagi bagi kaum wanitanya, yang seringkali menjadi penanggung jawab keluarga kalau terjadi perceraian. Kalaupun mereka bisa mendapat pekerjaan, umumnya hanyalah kerja kasar/unskilled yang dibayar murah. Sulitnya keadaan ekonomi keluarga serta beratnya beban serta tanggung jawab yang mereka pikul, sering memaksa wanita-wanita muda ini untuk akhirnya memilih jalan pintas, yaitu melacurkan diri. Banyaknya pelacur muda, baik yang berasal dari desa maupun kota, yang mencoba mendapatkan nafkah dengan cara ini, akan mengingatkan kembali pada sebab-sebab yang serupa; kawin muda, dan setelah mendapat satu atau dua anak kemudian ditinggalkan atau diceraikan oleh suami. Banyak dari wanita muda ini yang tetap berada dalam kehidupan yang penuh dengan kemiskinan dan kebodohan. Sebagian mungkin bisa mendapatkan materi yang lebih baik daripada sebelumnya, akan tetapi mereka tetap sulit untuk mengangkat dirinya ke taraf hidup yang lebih layak. Sikap hidup yang fatalistis, yang juga menjadi ciri masyarakat desa, mungkin berperan dalam hal ini.
Dalam keadaan seperti ini dapatlah dipahami bahwa peran mereka sebagai sumber tenaga yang potensiil untuk pembangunan, juga boleh dikatakan kecil. Sumber dana dan tenaga yang terbatas, yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan, sebagian juga harus disisihkan untuk mendidik kembali dan merehabilitasi wanita muda ini. Hal ini pada akhirnya bisa menjadi hambatan dalam pembangunan Negara dan bangsa.

KESIMPULAN
Baik dari segi kesehatan maupun psikologis, perkawinan di bawah umur mempunyai risiko yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkawinan yang terjadi kemudian. Secara fisiologis fungsi-fungsi reproduksi anak remaja belum siap untuk kehamilan dan kelahiran; dari sudut psikologi mereka belum matang secara social dan emosional untuk memikul tanggung jawab kehidupan berkeluarga.
Perkawinan seharusnya bisa memberikan rasa aman, kesempatan pada kedua pasangan untuk memperkembangkan diri secara optimal, dan saling bantu membantu dalam menghadapi krisis-krisis kehidupan. Dalam perkawinan di bawah umur, fungsi penting dari perkawinan ini tidaklah tercapai. Beban emosional, social, dan ekonomis yang dialami karena terjadinya perceraian, kematian, dan lainnya akan menghambat perkembangan individu maupun masyarakat.
Perkawinan di bawah umur bisa terjadi karena macam-macam faktor, dan seringkali tidak mudah untuk mengisolir atau menentukan satu faktor tertentu saja sebagai penyebab. Faktor social, ekonomis, psikologis dan biologis sering berkaitan dalam masalah perkawinan di bawah umur ini. Karena itu dalam usaha penanggulangannya, diperlukan pendekatan dan kerjasama dari berbagai macam keahlian dan lembaga/departemen. Merubah suatu kebisaaan yang telah berurat akar dalam tradisi bukanlah tugas yang mudah. Walaupun telah ada Undang-Undang perkawinan yang mengatur tentang usia minimal untuk kawin, akan tetapi dengan kemungkinan diperolehnya dispensasi dan ditambah lagi dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tertentu dari kedau pihak orang tua/remaja, maka penyalahgunaan atau penyelewengan dalam pelaksanaan Undang-Undang perkawinan selalu bisa terjadi.
Pada akhirnya, ada beberapa hal yang mungkin bisa dipikirkan untuk mengurangi perkawinan di bawah umur/mengundurkan usia kawin pertama :
- penyediaan pendidikan :
tidak harus merupakan pendidikan dengan jangka waktu yang lama/panjang, tetapi bisa berbentuk pendidikan non formal
- pekerjaan :
bukan saja industri di daerah perkotaan, tetapi lebih penting adalah pekerjaan-pekerjaan yang tersedia di daerah pedesaan, seperti industri kecil/rumahan, dan pertanian
- penerangan dan penyuluhan :
secara intensif dilakukan oleh pemuka agama dan masyarakat setempat mengenai kerugian dari kawin di bawah umur/muda, baik bagi individu sendiri, keluarga dan bangsa
- penyempurnaan Undang-Undang perkawinan :
apakah penetapan usia 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria tidak perlu dipertimbangkan lagi ?













KEPUSTAKAAN
1. Abdurrachman, E, H, . Umur Perkawinan dan Faktor Sosio Demografis yang mempengaruhinya. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi U.I. Indonesia, 1982.
2. Cox, F.D., Human Intimacy; Marriage, the Family and Its Meaning. West Publishing Company.
3. Hurlock, E., Adolescent Development Fourth Edition International Student Edition, McGraw Hill Kogakusha Ltd.
4. Landis, J.T. & Landis, N.G., Personal Adjustment, Marriage, and Family Living Prentice Hall, Inc. Englewood Clifis, New Jersey
5. Martokoesoemo, B. S., Marriage and Devorce in Indonesia A Demographic Study.
6. McDonald, P., Kumpulan kertas kerja lokakarya pola perkawinan.
7. Kumpulan makalah dan lokakarya tentang Pengaruh Perkawinan dan Kehamilan pada wanita muda usia. Penyelenggara Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia – Pusat. Desember 1981.


0 komentar:

Posting Komentar