perlakuan yang salah terhadap anak di berbagai lembaga

on Rabu, 10 Juni 2009

PERLAKUAN YANG SALAH TERHADAP ANAK
DI BERBAGAI LEMBAGA

Oleh :
R. Kusumanto Setyonegoro
Wicaksana M. Roan

I. PENDAHULUAN
1. Anak manusia dan manusia
Anak manusia sejak dalam kandungan ibunya tumbuh-kembang sesuai dengan tingkat kecepatan pertumbuhan biologic jenisnya dan berlangsung selama 9 bulan; kemudian membutuhkan selama 18 tahun dalam kehidupan diluar kandungan untuk menjadi seorang manusia yang dapat hidup independent serta kompeten.
Manusia tumbuh kembang sesuai dengan proses maturasi dan belajar. Tumbuh kembangnya susunan tubuh memungkinkan suatu rangkaian kegiatan baru yang kemudian memungkinkan menyerap pelajaran yang baru pula.
Demi keserasian proses maturasi dan belajar itu dibutuhkan interaksi dan belajar itu dibutuhkan interaksi yang optimal dari konstitusi biofisiknya, fungsi psikolgik serta lingkungannya yang kesemuanya tidak dapat dipisahkan dari rangsangan bio-fisik psikologik dan sosio-kultural terhadap individu manusia itu. Dengan rangsang yang adekuat inilah seorang manusia akan tumbuh kembang kearah satu pembentukan sifat dan pola perilaku yang baik, berguna dan produktif.
2. Keluarga dan keluarga sejahtera
Keluarga merupakan suatu bentuk kehidupan bersama antar manusia yang merupakan satu satuan bio-psiko-sosial yang terkecil dalam masyarakat, yang intinya terdiri dari pasangan suami isteri atau orang tua dan anak-anaknya yang belum kawin (keluarga inti) yang mempunyai fungsi dan tujuan kompleks, hingga terbentuknya keluarga baru dalam rangka falsafah mempertahankan keseimbangan keluarga manusia secara sebaik-baiknya.
3. Fungsi keluarga
Struktur keluarga, hubungan antar anggota keluarga dan fungsi merupakan suatu satuan yang tidak dapat ditinjau terpisah satu dengan lainnya. Pembentukan keluarga itu sendiri merupakan satu fungsi yang inheren dari satuan ini. Juga merupakan harapan dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat menaruh harapan agar keluarga ini dapat membesarkan dan membina anak-anak untuk kehidupan pada masa dewasa yang baik, dan selanjutnya agar mereka juga dapat berkembang biak dan memelihara anak-anak mereka. Lebih dari pada itu umat manusia tidak saja berkembang biak tetapi untuk mendidik dan melanjutkan nilai dan warisan kemampuan dari nenek moyangnya.
Nilai warisan biologic manusia mengharuskan beberapa kewajiban dilaksanakan terhadap anak manusia seperti memberikan makan, kehdiupan yang layak, mendidiknya untuk ketrampilan gerakan tubuh serta penggunaan alat untuk mempertahankan kehidupan.
Semua makhluk hidup berbuat demikian pula terhadap turunannya, namun bagi manusia masih ada tugas tambahan lain untuk memperkembangkan ciri budaya khas dari manusia, merencanakan hari esok yang lebih sempurna dengan mempergunakan kepandaian yang diperoleh dari pengalaman kolektif umat manusia itu sendiri.
Di bawah ini akan dibahas fungsi keluarga yang lazim :
a. Fungsi perkawinan
Perkawinan harus memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasangannya agar dapat memeprkuat stuktur keluarga dan masing-masing dapat melakukan tugasnya dengan memuaskan, kecuali kewajiban kekeluargaan, orang tua harus dapat bersama-sama melepaskan anaknya secara fisik dan emosional untuk berdiri sendiri. Akhirnya keluarga itu hanya kembali lagi menjadi berdua dan memalingkan diri dari kehidupan produktif ke arah kehidupan pensiun, serta menerima dengan penuh penyerahan proses usia lanjut.
b. Fungsi pemeliharaan
Fungsi ini tidak hanya menyelenggarakan perawatan dan penyediaan makanan, tetapi juga fungsi memberikan kehangatan dan perlindungan kepada sang bayi yang lapar atau cemas. Kehidupan keluarga dengan bersantap bersama memberikan gizi namun juga suasana semarak, mendidik bagaimana bergaul dalam masyarakat serta suasana santai.
c. Fungsi perhubungan
Peristiwa pelepasan seorang anak dari susu ibunya merupakan satu peristiwa pemeliharaan, namun juga mengandung unsur hubungan atau tepatnya pemutusan hubungan secara lambat laun, karena hubungan antar ibu dan anak yang demikian akrab pada masa bayi akan merenggang pada saat menjadi besar dan dewasa.
Kecuali itu sang anak juga belajar tentang batas pemisah antar dirinya dengan sang ibu. Peristiwa perpisahan yang lambat laun ini akan memberikan suatu kenyataan hidup bahwa seorang anak akan dapat melepaskan dirinya tanpa rasa marah, kuatir atau cemas.
Saat perpisahan ini pula memberikan pengertian pada anak tentang penyelesaian dari masa Oedipus ke arah identifikasi pada orang tua berjenis sama. Hubungan dengan teman sebayanya akan kemudian tumbuh setelah anak ini dengan baik melalui masa penglepasan dari ibunya. Pada masa remaja bahkan suatu pandangan yang lebih cenderung kepada temannya dapat ditoleransikan oleh orangtuanya. Orangtua harus dapat menerima sikap ‘ketidaksetiaan’ dari anak pada masa remaja ini dalam persiapan ke arah kehidupan independent.
d. Fungsi Komunikatif
Dalam kalangan keluarga diajarkan cara komunikasi verbal maupun non-verbal yang khas dalam budaya keluarga itu, sehingga menjadi komunikasi yang konsisten dan tidak simpangsiur. Bahasa merupakan alat komunikasi dan menyatakan tingkat kelas keluarga atau intelegensi seseorang, dan sangat berperan dalam pembentukan kepribadian serta konsep.
e. Fungsi emansipatif
Sebagai tujuan akhir dari tumbuh kembangnya seorang anak ialah kemampuan untuk berdiri sendiri. Hal ini merupakan satu tugas dari orang tua untuk membimbingnya sehingga ia berani untuk lepas serta berperilaku sesuai dengan norma dan harapan dari orang tua dan masyarakat.
f. Fungsi rekuperatif
Keluarga merupakan satu tempat bagi anggotanya untuk santai, serta tempat yang terlindung untuk melepaskan segala tegangan atau ikatan formal yang membelenggu seorang dalam interaksi masyarakat ramai. Keluarga harus menjadi tempat untuk memulihkan kembali kelelahan fisik yang melanda seorang setelah ia pulang dari sekolah atau dari tempat kerjanya. Memberi kesempatan menjadi raja atau ratu sejenak dalam rumahnya. Disitu ia dapat menunjukkan dan menerima kebutuhan untuk bergantung pada anggota keluarganya.
Disamping itu suasana keluarga yang santai dapat memberikan kesempatan bagi upaya kreatif sehingga ada hasil karya yang lain dari pada pekerjaan rutin yang membosankan. Di samping menjamin adanya disiplin individu dalam keluarga itu.

II. KETIMPANGAN FUNGSI KELUARGA
Bila suatu keluarga terlalu dibebani dengan kesulitan maka suasana santai dan kegembiraan akan hilang dari keluarga itu. Hal ini dapat disebabkan oleh konflik emosional atau gangguan kesehatan. Juga dapat disebabkan oleh besarnya keluarga itu sehingga melampaui batas ketahanan keluarga dalam fungsinya. Oleh karena itu membutuhkan satu upaya seperti keluarga berencana atau bantuan dari luar.
1. Keluarga berorang tua satu (one-parent family)
Ketimpangan disini disebabkan oleh tiadanya salah satu orang tua, membuat yang lain perlu mengatasi kehilangan ini untuk dirinya maupun anak-anaknya. Bila peristiwa ini tidak di atasi dengan baik maka akan menjadi beban yang terus menerus dan mengganggu secara patologik keluarga itu secara kesatuan. Kemudian perkawinan kedua juga menimbulkan problem tersendiri.
Perceraian juga merupakan penyebab dari ketimpangan ini. Kemungkinan rasa dendam lebih besar dalam hal ini, dan dapat menjalar kepada anak-anaknya. Puncak dari pergumulan ini ialah perebutan penguasaan anaknya untuk masing-masing dan akan membingungkan mereka. Kemudian setelah perceraian itu terjadi, munculnya seorang tua tiri yang menimbulkan masalah tersendiri.
Orang tua yang berstatus di luar nikah menjadi lebih sering terjadi saat ini dan menimbulkan masalah tersendiri pula. Pada kelompok bangsa yang masih kolot hal ini akan memberi beban kepada anak-anaknya, dan bagi yang menjalani akan mendapat cemoohan dan hukuman adat.
2. Keluarga berorang tua banyak (multi-parent family)
Keluarga jenis ini sering dijumpai dalam system keluarga besar. Biasanya hidup bersama kecuali orang tua, juga kakek dan neneknya serta makcik, pakcik yang sering sangat banyak. Suasana di rumah banyak diwarnai oleh berbagai sikap dan kepribadian semua anggota itu. Bila suasana memburuk, maka tidak terhindar intrik antar keluarga, terutama keluarga ningrat dan yang mampu sosial ekonominya.
Pendidikan anak menjadi sering ricuh, dan tidak dapat dikembangkan satu system mendidik yang konsisten, berakibat timbulnya berbagai kesulitan dalam pembentukan kepribadian atau pertumbuhan selanjutnya.
Belum lagi bila keluarga besar ini juga memelihara semua saudara misan yang merupakan putera-puteri dari makcik atau pakciknya maka akan lebih kusut lagi masalahnya.
Identifikasi menjadi kabur dan kesulitan banyak timbul dikemudian hari.

3. Deprivasi sensorik
Percobaan dari Hobb, Lilly dan Shurley menunjukkan bahwa bila seorang dapat diletakkan dalam suasana isolasi yang absolute (yang sering sukar dicapai), dengan sangat dibatasinya rangsang sensorik pada panca indera tubuh, maka dalam waktu 3x24 jam akan timbul bermacam reaksi pada orang percobaan, dari reaksi yang biasa seperti menolak untuk melanjutkan percobaan itu karena tidak betah hingga timbulnya kesulitan dalam koordinasi gerakan dan yang lebih hebat lagi timbulnya halusinasi dan waham seperti pada gangguan psikosis. Kenyataan menunjukkan bahwa akibat akan lebih buruk pada seseorang dengan corak kepribadian yang ekstrovert, karena orang yang berkepribadian seperti ini tidak tahan dengan keadaan tanpa rangsang lebih daripada orang introvert, kondisi ini dianggap sebagai satu psikosis buatan yang berguna dalam merintis ke arah penemuan dari etiologi psikosis. Demikian pula retardasi mental dapat terjadi dengan kurangnya rangsang sensorik.
4. Deprivasi maternal
Merupakan satu peristiwa kurangnya asuhan ibu terhadap anak dengan akibat yang buruk dalam pertumbuhan. Suatu riset yang mendalam telah dilakukan oleh Bowlby (1951) dengan bantuan dari Organisasi Kesehatan Sedunia yang menyimpulkan bahwa satu hubungan yang hangat dan terus menerus dengan seorang tokoh ibu merupakan syarat mutlak demi perkembangan kepribadian yang sehat.
Deprivasi maternal dapat dinyatakan dalam beberapa bentuk :
a. Kehidupan dalam lembaga
Data didapatkan dari penyelidikan pada bayi atau anak yang dirawat dalam panti asuhan untuk suatu jangka waktu tertentu. Kesimpulannya ialah bahwa bagi anak yang tinggal dalam lembaga untuk jangka waktu lama dan keadaan yang miskin akan timbul defisiensi dalam intelek dan kepribadiannya. Fungsi motorik anak nampaknya tidak terganggu, namun perkembangan fungsi kognitif dan bahasa amat terganggu. Oleh sebab itu akibat yang tersering ialah gangguan kepribadian dan perangai.
Seorang anak yang tumbuh dalam keadaan kemiskinan dalam panti tidak akan tumbuh pola normal dari reaksi hubungan sosialnya (social responsiveness), menarik diri, apatik serta terganggu kemampuan diskriminasi sosial. Inilah yang menjadikan seorang anak atau remaja terganggu dalam pengendalian impuls, merasa tidak berdosa dalam kaitannya dengan tindakan kekerasan dan merusak, serta ketidak mampuan melaksanakan hubungan interpersonal yang berarti akrab dan langgeng.
b. Pengasuh yang banyak dan berganti 5)
Walaupun kenyataan menunjukkan adanya kesulitan yang ditimbulkan oleh banyaknya tokoh yang merawat seorang anak, namun beberapa bukti lain menyangkalnya. Perawatan anak Israel dalam kibbutzim ternyata tidak banyak menimbulkan kesulitan, dengan adanya satu tokoh ibu yang menonjol. Bahkan kehidupan kelompok itu dapat memberikan pandangan kehidupan politik yang mendalam bagi anak didiknya.
c. Perpisahan dengan ibu
Sering disamakan dengan deprivasi maternal, namun disini berbeda dalam arti adanya ancaman kehilangan ibu, seperti misalnya karena anak sakit dan perlu dimasukkan ke dalam rumah sakit, atau kepergian ibu yang cukup lama.
‘Melekatnya’ (attachment) seorang anak kepada seorang tokoh ibu membutuhkan suatu hubungan yang intim dan cukup lama. Sama pentingnya ialah sifat (quality) dari hubungan itu serta intensitasnya. Terdapat tiga fase dari perpisahan ini : fase pertama meronta, dan bila tidak terlalu lama tokoh ibu muncul kembali akan terjadi pelekatan (attachment) yang lebih hebat, yang selanjutnya sukar dipisahkan lagi.
Fase kedua bila perpisahan itu cukup lama dan harapan perjumpaan tidak kunjung tiba secara individual menurut ketahanan anak itu dapat terjadi sikap yang ‘putus asa’ (despair).
Fase ketiga ialah timbulnya sikap menolak dan menjauh (denial and detachment) sebagai akibat perpisahan yang amat lama dan harapan anak untuk mendapatkan ibunya kembali tidak ada lagi, dapat timbul depresi yang mendalam.
5. Deprivasi sosial
Kecuali pengertian tentang deprivasi maternal yang menyebabkan seorang anak harus terpisah dari ibunya, atau secara aktif sikap ibu yang menolak dan menelantarkan anaknya secara emosional tanpa bimbingan sosial yang wajar, akan membuat anak menjadi terhambat dan muncul dalam kemampuan kognitif dan inteleknya.
Anak yang diasuh dalam panti yang kekurangan tenaga pengasuh, atau sering berganti, dapat menyebabkan hambatan dalam perkembangannya. Anak yang sama bila dipindahkan ke dalam perawatan orang tua angkat (fosterparents) dalam waktu singkat akan meningkat kemampuannya terbukti dari meningkatnya IQ yang diukur secara teliti. Sebaliknya dapat dibuktikan bahwa anak-anak yang tadinya menunjukkan IQ yang baik, akan menurun setelah dimasukkan dalam panti asuhan yang kondisi ketenagaannya buruk serta hubungan interpersonal yang dingin dan kurang.
6. Deprivasi budaya
Dalam keluarga yang miskin, kekurangan alat mainan atau sempit ruang gerak ditambah pula dengan tiadanya minat dan ketidak mampuan orang tua untuk berinteraksi secara berarti dengan anak-anaknya karena beban hidup yang menekan akan menyebabkan berkurangnya proses pembudayaan yang normal. Hal ini akan tampak dalam pendidikan formal yang dimulai nanti setelah anak mencapai umur sekolah.
Dalam pendidikan formal itu sendiri akan terjadi kesukaran bagi anak untuk mengikuti pelajaran dengan baik, karena memang IQ rendah, tetapi pendidik juga akan kehilangan minat mengajar dan meninggalkan/ menelantarkannya dari pada kawan sekelasnya. Suatu pemberitahuan kepada keluarga tentang ketinggalanyna itu akan membuat rasa pesimisme keluarga.
Disamping itu banyak kesulitan lain akan timbul seperti masalah kesehatan anak itu yang sering terganggu karena kurang gizi atau hygiene lingkungan.
Hubungan interpersonal dalam keluarga biasanya kurang sehingga pernyataan dari dalam hati yang bersifat menyegarkan tiada, semua komunikasi hanya bersifat reaktif dan hanya memarahi atau mencoba mengubah keadaan yang menjengkelkan tetapi bukan suatu interaksi yang membangun jiwa yang produktif dan segar sehingga akibatnya terjadi defisiensi dan gangguan pada pembentukan alam pikiran dan bahasa. Kemampuan untuk menyatakan kegembiraan yang tulus dari hati yang dalam pun tiada, mereka hanya bisa membuat orang lain dalam keluarga itu muak, sedangkan tidak mampu membuat orang lain gembira.
7. Kemiskinan
Keluarga yang miskin secara ekonomik dan pendidikan nampaknya akan tidak mampu membawa tugas pembudayaan yang baik kepada anaknya. Hal ini sering dikenal dengan istilah ‘miskin budaya’.
Pendidikan anak juga tidak wajar bila dalam menyelesaikan kesulitan hanya dengan cara menjejalkannya dengan makanan atau minuman, kembang gula dan lainnya. Segala kesulitan tidak dicoba dicari sebabnya yang wajar, tetapi dialihkan dalam bentuk kemarahan dan hukuman pada anaknya, yang kemudian bahkan menimbulkan rasa permusuhan dari anak terhadap orang tua.
III. KELUARGA YANG PATOLOGIK
Keluarga yang patologik dapat dibagi dalam bentuk yang tertutup dan terbuka atau secara ilmiahnya disebut sebagai gangguan pada organisasi dan dinamik di satu pihak dan gangguan jiwa yang nyata berupa penderitaan pada salah satu atau lebih anggota keluarga itu.
1. Gangguan organisasi dan dinamika
Dalam hal ini orang memandang keluarga sebagai satu system yang berfungsi serta berhasil atau gagalnya melaksanakan tugas keluarga yang normal.
a. Disfungsi marital dan parental
Ketidakserasian dalam diri orang tuanya membuat kesulitan dalam hubungan kekeluargaan, misalnya orang tua yang imatur akan bertindak tidak sebagai orang tua namun sebagai salah satu dari anaknya sehingga ia sangat bergantung pada pasangannya.
b. Tuna teladan
Ketidak mampuan orang tua untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam peran jenisnya sehingga banyak mendapat kecaman dari yang pedas serta cemoohan dari pasangannya. Teadan yang buruk ini paling berpengaruh pada anak yang berjenis sama sehingga mengaburkan identifikasi padanya dan sebagai akibatnya timbul deviasi kepribadian dan skizofrenia.
Orang tua dengan sikap histerik atau obsesif kompulsif akan memberi yang teladan sama bagi anaknya.
c. Kegagalan keluarga inti (nuclearity failure)
Salah satu bentuk dari kesulitan dalam keluarga inti ialah suatu kedambaan yang terselubung akan keluarga yang besar. Walaupun sepasang suami-isteri sudah berumah tangga sendiri namun pengambilan keputusan untuk suatu urusan besar atau kecil masih menunggu persetujuan dari keluarga asal mereka masing-masing. Jadi banyak masih melekat dan bergantung pada keluarga misalnya. Dengan demikian dapat terjadi kesulitan dan bentrokan antar pasangan. Apabila keluarga asal mereka juga memberikan respons sedemikian rupa sehingga melindungi dan menjaga putera-puterinya sehingga membuat mereka ribut.
d. Pembatasan yang baur (incompetent boundaries)
Pembatasan keluarga akan terganggu bila terdapat sifat yang kaku atau terlalu lentur – dikenal dengan istilah ‘pagar karet’. Keadaan ini banyak terdapat pada keluarga skizofrenik atau keluarga yang enggan melepaskan anggotanya keluar.
Hal ini sering berakibat menjadi patalogik seperti ayah yang selalu menguntit anak gadisnya kemana ia pergi seperti seorang detektif, atau ibu yang mengikuti anak prianya pergi berbulan madu, bahkan ada peristiwa seorang ibu yang selalu memanggil dan seolah cemburu tiap kali anak prianya masuk kekamar bersama isterinya.
e. Perpecahan keluarga
Perpecahan merupakan satu peristiwa yang paling patologik dan nyata dalam persatuan keluarga, namun bukan berarti berdaya perusak terbesar. Keluarga yang pecah ini banyak berlatar belakang sosiopatis, ibu yang tak menikah, skizaofrenia, neurosis berat.
Perpecahan ini sering diperlukan dalam suasana untuk menolong akibat yang lebih buruk dari gangguan kepribadian yang lain.
f. ‘Double bind’
Bateson telah mengemukakan cara komunikasi yang khas dengan adanya konflik dari inti komunikasi itu. Jadi bila ada satu sikap yang positif pada saat lain diikuti oleh yang negative, sehingga tidak memungkinkan seorang anak belajar dan mengerti maksud dari komunikasi itu. Biasanya untuk komunikasi dalam bentuk verbal, tetapi yang lain non-verbal. Bateson menyebutnya sebagai sebuah keluarga ‘skizofrenogenik’, namun sebenarnya akibatnya sangat luas, tidak saja menjadikan seseorang skizofrenis, tetapi juga psikopatis, kenakalan remaja, deviasi seksual dan lainnya.
g. ‘Schism atau skew’
Lidz mengajukan bahwa terdapat pula sikap keluarga yang retak, seolah keluarga itu dibelah menjadi dua blok, salah satu pihak mempergunakan segala cara untuk menarik anak-anaknya memihak dirinya.
Sering ditandai dengan gambaran yang timpang, seperti seorang isteri yang sifatnya keras, dominant, pendukung utama dari ekonomi keluarga, berkuasa dan sifatnya seperti laki-laki, sedangkan sebaliknya sang suami seorang yang lemah lembut, tubuhnya mungkin kecil, tidak pernah bersuara, bila pulang kerumah hanya membaca Koran disudut ruang yang tidak nampak oleh orang, biasanya tidak produktif dan gagal dalam mencari keuangan untuk keluarga.
h. ‘Pseudomutuality’
Wynne mengajukan pendapat tentang sifat lain dari keluarga dimana biasanya suami sering meninggalkan rumah karena pekerjaannya, seperti seorang pelaut, dokter atau orang yang sering bepergian. Isteri dirumah selalu kesepian dan anak seolah akan dijadikan pengganti suaminya. Sebaliknya dari ia melindungi dan membimbing anaknya itu ia menempatkan anak di dalam kedudukan ayahnya.
i. Inses (incest)
Merupakan satu patologi keluarga yang nyata dan merusak struktur yang semestinya. Sering terjadi hubungan yang mesra secara emosional maupun fisik antara ayah dan anak gadisnya.

2. Gangguan dan penyakit jiwa
Patologi keluarga sering ditandai oleh adanya penderita yang terganggu jiwanya seperti beberapa gangguan yang disebut dibawah ini : psikosis yang gawat, gangguan afektif, psikopati dan retardasi mental. Terutama akan berakibat buruk bila yang menderita justru yang menjadi pendukung utama seperti ayah atau salah satu anak yang berpengaruh terhadap keluarga itu karena kedudukannya sebagai anak tertua atau terpandang dan oleh karena pendidikan yang tinggi, sehingga akibatnya betul-betul suatu malapetaka (disastrous)
a. Psikosis yang gawat
Pikosis gawat seperti skisofrenia dengan sendirinya dapat melanda seorang anak dalam suatu keluarga. Ternyata interaksi orang tuanya juga menunjukkan patologi yang besar, cara berkomunikasi yang aneh pula, sehingga menghambat proses maturasi dan pembentukan batas ego. Anaknya biasanya sulit untuk membuat proses identifikasi yang normal.
b. Psikosis afektif
Sering memberikan gambaran sebagai orangtua yang terlalu besar mengharapkan keberhasilan anaknya di sekolah atas dasar prestise. Hal ini akan berpengaruh demikian rupa sehingga hanya nilai tinggi di sekolah yang dikejar. Rasa dosa yang berlebihan bila gagal.
c. Psikopati dan neurosis
Banyak perilaku neurosis asosial atau antisosial dilakukan oleh anak dari orang tua yang bersifat demikian. Keluarga biasanya juga patologik dengan banyaknya kasus peminum alcohol.
Banyak juga ditandai dengan anak yang menyalah gunakan zat atau obat. Keluarga yang selalu ingin cepat mendapatkan hasil karena sifatnya yang psikopatik.
d. Retardasi mental
Sering intelek menurun bukan hanya karena factor genetic, tetapi karena keluarga itu tidak merupakan satu satuan sistem yang cukup memberikan dorongan dan rangsangan yang adekuat bagi pertumbuhan yang normal. Sering pula memberikan serangkaian pendidikan yang tidak menjamin kedudukan sosial keluarga sehingga selalu rendah tingkat kelas sosialnya.

IV. LEMBAGA PEMELIHARAAN ANAK SERTA PEDOMANNYA
1. Landasan hukum dan perundang-undangan
a. Undang-Undang Dasar 1945
Beberapa pasal menyangkut pendidikan, dan kesejahteraan sosial :
Pasal 27 (2) Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 31 (1) Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.
Pasal 34 Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.
b. G.B.H.N. ( TAP MPR No. IV/1978 )
Disini ditegaskan bahwa “…… untuk mewujudkan Tujuan Nasional seperti termaksud dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi, kemerdekaan dan keadilan sosial”
c. Undang-Undang tentang Pokok Kesehatan No. 9/1960
Pada pasal 8 dijelaskan bahwa mengenai kondisi sakit yaitu cacad (invalided), kelemahan (weakness, feeble conditions, feeble mindedness, keterbelakangan dalam perkembangan fisik dan mental) dan usia lanjut.
d. Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa No. 3/1966
Dalam bidang kesehatan jiwa usaha pemerintah meliputi :
i. Memelihara kesehatan jiwa dalam pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
ii. Mempertinggi taraf kesehatan jiwa seseorang dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat.
e. Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak No. 4/1979
Dinyatakan bahwa usaha kesejahteraan anak dilaksanakan oleh pemerintah dan atas masyarakat di dalam maupun di luar panti.
f. Undang-Undang tentang Narkotika No. 9/1979
Dalam pasal tentang Pengobatan dan Rehabilitasi Korban Penyalah gunaan Narkotika dan Usaha Penanggulangannya, Pasal 32 menjelaskan bahwa : “mereka yang belum cukup umur dan mereka yang sudah dewasa perlu dibawa atau melaporkan diri kepada Pejabat/dokter/Rumah Sakit terdekat untuk memperoleh pengobatan tersebut”.
g. W.H.O. Constitution
Dokumen ini menyebut juga khususnya tentang anak-anak sebagai berikut : “Healthy development of the child is of basic importance the ability to live harmoniously in a changing total environment is essential to such development”
h. Pembentukan Badan Sedunia untuk Anak-anak UNICEF
Dalam landasan konstitusi pembentukan Badan sedunia ini tentunya tidak terlepas dari kesadaran manusia terhadap kesejahteraan anak-anak.
Dalam Declaration of the Rights of the Child yang disebutkan lengkap disini berbunyi :
THE RIGHT
to affection, love, and understanding
to adecuate nutrition and medical care
to free education
to full opportunity for play and recreation
to a name and nationality
to special care, if handicapped
to be among the first to receive relief in times of disaster
to learn to be a useful member of society and to develop individual abilities
to be brought up in a spirit of peace and universal brotherhood
to enjoy these rights, regardless of race, color, sex, religion, national, or social origin.
2. Pedoman penyelenggaraan Lembaga Pemeliharaan Anak
Di dalam pembahasan ini penulis tidak bermaksud untuk membahas secara terperinci tentang Pedoman penyelenggaraan lembaga pemeliharaan anak, namun secara garis besar serta pokok-pokoknya saja.
a. Fasilitas Gedung dan Peralatan
Dalam penyelenggaraan fasilitas ini memang perlu dipertimbangkan tentang luas ruang gerak bagi penghuninya yang cukup. Gedung tidak terlalu gersang atau langka benda atau permainan.
Gedung tidak terlalu tertutup dari dunia luar.
Hal ini tidak bermaksud untuk menganjurkan tentang kemegahan gedung atau penyediaan peralatan rumah tangga, benda dan permainan atau perabot yang mewah, tetapi yang mengarah kepada cukup rangsangan bagi penghuninya, cukup ruang gerak untuk limitasi dan komunikasi yang wajar dan sehat.
b. Personalia
Dalam penunjukkan para petugas perlu ditekankan:
Minat dan dedikasi dari pengasuh yang bertindak sungguh-sungguh sebagai pengganti orang tua, tidak hanya untuk menjangkau aspirasi dan kebutuhan pribadi. Staf harus cukup jumlahnya untuk melaksanakan asuhan dan pekerjaan lain yang bersifat membimbing, mendidik dan membina untuk dapat berdiri sendiri.
Kepribadian dan kualitas dari petugas perlu yang dewasa, stabil dan cukup integritas.
Dasar pendidikan dan latihan yang mengarah kepada tugas yang akan diemban.
Team pengasuh perlu mencerminkan orang tua yang sesungguhnya yang terdiri dari suami-isteri sebagai pengganti ayah-ibu.
c. Mekanisme penyelenggaraan
Sebagai pedoman umum dapat disebutkan disini bahwa mekanisme penyelenggaraannya perlu ditekankan agar secara structural dibuat minimal dengan maksud bahwa sesedikit mungkin terikat kepada aturan, hirarki, disiplin ketat dan sebagainya, walaupun hal ini sangat diperlukan dalam penyelenggaraan tata tertib yang baik dan penggunaan mekanisme struktural ini patut digunakan pada tempatnya dan dalam saat yang tepat.
Lebih baik ditekankan ialah penyelenggaraan fungsional dari seluruh aparat yang tersedia, dengan memperhatikan semua kondisi dan pengalaman yang telah dikemukakan dibagian depan dari tulisan ini agar petunjuk yang baik dilaksanakan untuk mengisi sifat yang positif dan menghindarkan pengalaman yang buruk untuk tidak terulang kepahitan dan kegagalan dari upaya yang mulia ini.
Semua upaya ini ditujukan untuk dapat melaksanakan :
i. Fungsi menampung
Hal ini dilaksanakan dengan dalih yang memang dibutuhkan bagi anak yang kehilangan lingkungan keluarga yang baik dan berindikasi untuk ditampung.
Penampungan ini hendaknya mempergunakan criteria yang cukup agar anak-anak yang ditampung itu memang tepat menurut kategorinya dan tidak mengandung gangguan atau penyakit yang perlu mendapatkan penampungan dan perawatan di lembaga lain.
ii. Fungsi membesarkan
Tumbuh kembangnya fisik seseorang anakakan memberikan hasil yang lebih baik dari pada anak yang bergizi kurang sehingga perlu diatur agar pemberian gizi, kebersihan lingkungan, kualitas makanan, cara penyediaan semua memenuhi syarat yang baik.
iii. Fungsi mendidik
Pendidikan dalam lembaga seperti juga di dalam rumah tangga perlu dilaksanakan dengan sewajarnya dan tidak dipaksakan secara aturan ketat asrama, walaupun hal ini perlu diperhatikan tentang disiplin dan sebagainya.
Pendidikan formal seperti di dalam sekolah dan sejenisnya perlu dilaksanakan dan diperhatikan sebagaimana mestinya, perhatian ke arah kemajuan, kemundurannya, perlunya bimbingan dan sebagainya.
iv. Fungsi membina dan mengembangkan
Setelah pendidikan cukup teratur dan langgeng, bergantung pada bakat dan minatnya anak dapat dibina ke arah yang sesuai baginya agar dapat mencapai karier yang sesuai dan selanjutnya dikembangkan untuk mencapai satu keahlian yang berguna bagi dirinya dan juga bagi lingkungan masyarakat dan Negara.
v. Fungsi memantapkan
Setelah seorang anak didik dari lembaga mendapat semua upaya yang baik ini, sudah saatnya ia dimantapkan untuk suatu tugas dan pekerjaan yang akan menjadi karier seumur hidupnya. Disinilah suatu rangkaian upaya pendidikan lembaga dapat dinilai keberhasilannya.
vi. Fungsi melepaskan
Dalam system pendidikan lembaga ini seperti juga kehidupan keluarga dapat terjadi suatu ikatan yang demikian mesra antara anak didik dengan lembaga atau para pengasuhnya. Untuk dapat melepaskan seorang anak yang telah menjadi dewasa dan berkarier sering pula merupakan satu pengalaman yang menyakitkan dan pahit, oleh sebab itu banyak diantara para anak (didik) yang enggan meninggalkan rumah dan orang tuanya untuk mengembangkan lebih lanjut kemampuannya dan membuktikan kepada dunia luar eksistensi dan karirnya yang berguna. Demikianlah patut dikemukakan disini bahwa salah satu fungsi dari lembaga pemeliharaan juga untuk dapat melepaskan anak didiknya agar dapat berdiri sendiri dengan berani dan mantap.

V. PENUTUP
Pemeliharaan di dalam lembaga banyak disorot oleh karena keburukan keadaan dan pengelolaannya, hal ini tidak dapat dielakkan, karena memang pengadaan lembaga itu sendiri sering terdorong oleh suatu keadaan yang terpaksa dengan dana yang kurang serta petugas yang diangkat hanya oleh karena tidak ada orang yang mau mengelola, hal ini memang lebih mencerminkan suatu pemeliharaan yang buruk sekali.
Namun dipihak lain, dapat dibayangkan bahwa satu lembaga yang sangat baik pengelolaannya dengan tenaga, fasilitas dan personalia yang serba cukup dan optimal, kecuali memberikan satu lingkungan hidup yang terlalu baik bagi anak asuhnya, tetapi sebaliknya dapat pula mempunyai pengaruh yang antiklimaks bila anak didik ini dilepaskan ke dalam kancah hidup masyarakat yang semua serba lain dan serba tidak sesuai dengan lembaga itu, sehingga membuatnya enggan meninggalkan. Oleh sebab itu perlu dilakukan satu penjajakan dan penyesuaian taraf kehidupan di dalam dan di luar lembaga agar ada persesuaian demi untuk keserasian dalam proses penglepasan seseorang ke dalam masyarakat luas.
Suatu saran yang dapat diberikan ialah dikelola suatu “Model Pilot Project” dari suatu Instansi Pelayanan, umpama proyek kerjasama di bawah Badan Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat yang diselenggarakan oleh suatu lembaga pendidikan dan psikologi dan yang didukung :
9LO (1) Dana financial
(2) Ketenagaan ahli yang cukup dan
}
(3) Gedung dan fisik berjangka panjang

(4) Research dan data collection.



PERLAKUAN YANG SALAH TERHADAP ANAK
DI BERBAGAI LEMBAGA

Oleh :
R. Kusumanto Setyonegoro
Wicaksana M. Roan

ISI :
I. PENDAHULUAN
1. Anak manusia dan manusia
2. Keluarga dan keluarga sejahtera
3. Fungsi Keluarga
II. KETIMPANGAN FUNGSI KELUARGA
1. Keluarga berorang tua tunggal (one-parent family)
2. Keluarga berorang tua banyak (multi parent family)
3. Deprivasi sensorik
4. Deprivasi maternal
5. Deprivasi emosional dan sosial
6. Deprivasi budaya
7. Kemiskinan
III. KELUARGA YANG PATOLOGIK
1. Gangguan organisasi dan dinamika
a. Disfungsi organisasi dan parental
b. Tuna teladan
c. Kegagalan keluarga inti
d. Pembatasan yang baur
e. Pepercahan keluarga
f. ‘Double bind’
g. “Schism atau skow’
h. “Pseudomutuality’
i. “Inses (iscest)”
2. Gangguan dan penyakit jiwa
a. Psikosis yang gawat
b. Psikosis afektif
c. Psikopatia dan neurosis
d. Retardasi mental
IV. LEMBAGA PEMELIHARAAN ANAK SERTA PEDOMANNYA
1. Landasan hukum dan perundang-undangan
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Garis Besar Haluan Negara (TAP MPR No. IV/1960)
c. Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kesehatan No. 9/1960
d. Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa No. 3/1960
e. Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak No. 4/1979
f. Undang-Undang Narkotika No. 9/1976
g. W.H.O. Constitution
h. Declaration of the Rights of the Child
2. Pedoman penyelenggaraan lembaga pemeliharaan anak
a. Fasilitas gedung dan peralatan
b. Personalia
c. Mekanisme penyelenggaraan
V. PENUTUP


0 komentar:

Posting Komentar